"Nak...km ingin Ayah buatkan minuman apa pagi ini?", tanya Ayahku
"Tidak Ayah, tidak usah repot-repot, nanti biar aq buat sendiri saja...", kataku
"Ah....santai saja Nak, km kan msh byk pekerjaan...sesekali biarkan lah Ayahmu ini memanjakanmu..."
"Baiklah Ayah...secangkir teh manis sepertinya mantap..."
Ayahku pun lantas beranjak menuju dapur,
Kusimak dg seksama bunyian2 "khas bartender" yg mengalun dr dapur rumahku,
Bunyi air mendidih dlm ketel, bunyi gemericik air yg dituangkan scr berirama k dalam cangkir, bunyi perpaduan antara sendok dan cangkir yg saling bersenggolan dlm adukan, dan bunyi2 lainnya...
Tak lama berselang, Ayahku pun datang dengan secangkir teh manis "permintaanku" di tangan kanannya dan....
"Wow....ada sepiring biskuit malkies bertabur gula di tangan kirinya"
"Nak....ini tes manis dan sedikit biskuit untukmu...smg bs menambah semangatmu dlm mengerjakan tugas2mu...," kata Ayahku.
"Wah...terimakasih sekali Ayah...
Teh manis dan biskuit malkies ini nampaknya akan habis lebih dulu sebelum aku memulai mengerjakan tugasku...(saking sayangnya utk dilewatkan)...hahaha", kataku.
" Sruuupph..., hmm...nikmat sekali rasa teh manis buatan Ayahku ini...
Manisnya pas...!, apalagi jika diminum ketika masih panas...(Tentunya dg kadar panas yg bs ditoleransi organ mulut)
1 seruput demi seruput, kupindahkan cairan teh dr cangkir itu ke dlm mulutku...
Hmmm....perpaduan antara aroma, rasa dan kehangatan...membuat teh manis itu terasa semakin nikmat bagiku...
Oya..., ada biskuit malkies bertabur gula juga disini...
Hmmm...yummy, taburan gula diatasnya semakin menambah "manisnya" pagiku ini....
Sepotong demi sepotong, kulahap biskuit malkies yg berjejer rapi di atas piring itu...
Kadang kumakan langsung utk merasakan kerenyahannya, kadang kucelupkannya di dlm teh-seperti yg biasa dicontohkan oleh model-model iklan dlm layar televisi...
Karena haus, kuambil cangkir teh manis yg sedikit "terabaikan" oleh malkies itu, dan kuseruput isinya...
"Hmmh...., ada yg sedikit berbeda dari rasanya...", gumanku.
Teh manis itu kini tak senikmat ketika awal aku meminumnya...
Rasanya kini tak begitu manis, biasa2 saja...sedikit tawar malah...!
Aku pun berpikir, kenapa rasanya bisa berubah...padahal aku hny " meninggalkan/mengabaikan" nya tdk terlalu lama?
Oh...akhirnya aq menyadari suatu hal...!,
Ternyata... Rasa manis yg disuguhkan oleh biskuit malkies bertabur gula itu telah mengalahkan efek manis dr "Teh Spesial buatan Ayah"...
Teh manis yg awalnya terasa sangat nikmat kurasakan, kini berasa hambar...biasa2 saja...
Pikiranku kembali menganalisa....
"Hmmm... Ternyata kehidupan kita ini bisa diibaratkan spt " Secangkir teh manis dan biskuit malkies' itu...".
Ternyata...
Jika kita terbiasa dg nikmat2 yg kecil (sederhana), dan kita bisa mensyukurinya...maka nikmat2 kecil SUDAH SANGAT CUKUP bagi kita...
Namun,
Bila dr nikmat yg kecil td kita ingin beranjak kpd nikmat2 yg LEBIH BESAR lagi,
Maka biasanya, apabila qt sudah terbiasa dg nikmat yg lebih besar itu, mk nikmat yg kadarnya lbh kecil seringkali mudah qt ingkari (kufur nikmat-na'udzubillaah)
Simplenya begini,
Ada orang yg dulunya hanya memiliki sebuah motor yg terbilang cukup lawas pada zamannya...
Namun ia mensyukurinya,
motor "butut" itu ia gunakan kemana saja, dan telah banyak "berjasa" dlm hidupnya... Ia lalu berkata "Motor ini sangat berarti bagiku, dan aku mensyukuri (menikmati) berkendara dg nya"
Seiring berjalannya waktu,
Alhamdulillah, taraf ekonomi orang tsb kian meningkat..
Kini ia telah memiliki rumah mewah, dan mobil yg terbilang sangat-sangat berkelas pada zaman itu... Mobil itu begitu nyaman, bahkan sangat-sangat nyaman...
Lubang besar yg sering mengganggu bahkan mencelakakan pengendara lain, namun bg orang yg berada dlm mobil mewah itu nampak seperti tidak pernah ada (saking nyamannya...).
Nah,
Bila orang sdh terbiasa dg "nikmat yg besar" (rumah megah, mobil mewah, dll) pada suatu waktu "diminta" utk merasakan "nikmat yg lbh kecil" (di bawah standarnya), umumnya akan muncul perasan tidak suka, menderita, bahkan "terkadang" sering mencela...
Padahal,
Bagi orang yg biasa hidup sederhana (yg taraf hidupnya dibawah standar "Orang Kaya" td), itu merupakan sebuah kenikmatan yg luar biasa...
Sehingga dpt ditarik sbuah ksimpulan, bahwa:
"Kenikmatan itu sejatinya bukan berdasarkan wujud BESAR atau KECILnya nikmat tersebut,
Namun,
Kenikmatan itu diukur dari bagaimana KEMAMPUAN qt dlm MENSYUKURInya..."
Maka,
Sebaiknya diri qt ini harus selalu bersyukur...
Diberi nikmat yg kecil harus bersyukur...
Diberi nikmat yg besar harus LEBIH BERSYUKUR LAGI...!
Allah tidak melarang kita utk menjadi kaya, memiliki rumah megah, mobil mewah, dsb...Tidak...
Yang tdk Allah sukai adalah bila qt berlebih-lebihan, riya', sombong, melupakan rasa syukur qt kepada Nya, atau melupakan hak-hak org lain yg terdapat dlm harta qt...
1 hal yg harus selalu dicamkan bila qt mjd kaya adalah:
"Semakin banyak harta mk akan semakin berat pertanggungjawaban qt dihadapan-Nya kelak...", mk bila qt kaya, qt harus extra hati2 dlm membelanjakan harta...
Yg sebaiknya dilakukan (menurut saya) adl:
Jika taraf hidup qt sudah "terlanjur" tinggi dbanding yg lainnya, mk sering2lah bergaul dg orang2 yg lbh sederhana khidupannya, shg qt terus merasakan dan mensyukuri NIKMAT2 yg Allah berikan (baik yg kecil, apalagi yg besar)
Nabi SAW pernah bersabda:
"Barangsiapa yg tidak bersyukur pd hal yg kecil, mk ia tidak akan bersyukur pd hal yg besar..... " (H.R. Ahmad)
Barangkali apa yg dilakukan oleh para pemimpin qt bs qt dijadikan contoh..., bgmn mereka "turun ke bawah" merangkul dan membersamai masyarakat "wong cilik"...
Namun, tentunya itu jangan hanya sebatas pencitraan pd musim kampanye sj, tp memang krn keikhlasan dr diri qt, spy selalu ingat dan mensyukuri nikmat yg Allah berikan kpd qt...
Wallaahu a'lam....
***
Tak terasa, cukup lama diriku ini merenung...
Kulihat jam Analog yg terpampang pd layar desktop komputerku...
" ALAMAAAAKK...!!., sudah jam segini tp tugasku belom juga kelar....
Sudah mepet deadline lagi....!
Waduuuuh.... mana teh manis dan biskuit malkies nya sudah habis....
Oh, tidaaaaakkkk.....!!!" (=))
Sekian,
By: ibadibadi
Ahad, 7-8-16 @home
ibadibadi cendekia
Sabtu, 06 Agustus 2016
Minggu, 24 Januari 2016
Karena Waktuku Begitu Berharga…
Waktu itu sekitar
Desember tahun 2004. Bagi kami anggota/pengurus Rohis Albahrain, tentunya ada sebuah
tahapan untuk meng- up grade diri sesuai dengan jalur kaderisasi Kerohisan. Maka
dari itu, Rohis Universitas Diponegoro (kini bernama INSANI) mengadakan “Training
Rohis 2” atau biasa disebut TR 2. Masing-masing fakultas diminta mengirimkan
delegasinya, dan dari Albahrain terpilihlah 3 orang mahasiswi (akhwat), yang
kesemuanya berasal dari program studi oseanografi termasuk aku. Segera lah kami
mempersiapkan segala kebutuhan (perlengkapan) yang diperlukan unutk kegiatan
yang berdurasi 1 minggu itu, dan tak lupa membawa persyaratan yang diwajibakan
yaitu membuat sebuah makalah. Semuanya kami lakukan dengan cepat di tengah-tengah
padatnya jadwal kuliah dan aktivitas keseharian kami, karena waktu persiapan
kami hanya tinggal esok saja, hari Jumat.
Hari Jumat pun
tiba, hari raya bagi umat muslim setiap minggunya. Aku telah selesai mengemasi
barang-barang keperluanku untuk acara itu. Tak disangka, ternyata hari itu Bapakku
datang. Tidak pernah ada pemberitahuan sebelumnya kalau beliau akan datang
mengunjungiku hari itu, karena handphone keluarga kami satu-satunhya ditinggal
di rumah kami yang jauh di luar pulau sana. Waktu itu handphone masih termasuk
barang langka, belum menjamur seperti
sekarang, sehingga begitu kagetnya
diriku menerima kedatangan Bapakku yang sangat tiba-tiba itu.
Ternyata hari itu
Bapakku mampir setelah sebelumnya mengikuti Muktamar Nasional salah satu
organisasi islam terbesar Indonesia di Boyolali selama beberapa hari. Melihat
di kostku tidak ada “hidangan penyambut” kedatangan Bapakku, maka segera kupergi
ke warung makan untuk membeli teh hangat dan soto ayam sebagai sarapan untuk beliau.
Sambil menatap kembali penampilanku dan mengecek kembali barang-barangku, aku
bercerita bahwa hari itu akan ada agenda organisasi kampus sehingga jam 1 siang
nanti aku sudah harus tiba dan berkumpul di GSG (Gedung Serba Guna), “TIDAK
BOLEH TELAT..!!”, begitu pesan panitia. Bapakku pun mengerti dan menasehatiku
bahwa aku boleh saja aktif di organisasi atau ikut kegiatan apapun di kampus,
selama itu bermanfaat dan tidak membawa kepada pergaulan yang salah. Setelah
itu beliau pun beristirahat untuk menyiapkan tenaga, karena siang nanti beliau berencana
berangkat ke Majenang, Kabupaten Cilacap, untuk mengunjungi Nenek. Sebenarnya
beliau berencana berangkat pada sore hari, namun setelah mengetahui bahwa
anaknya ada kegiatan di organisasi kampusnya sehingga rencana keberangkatannya
pun dimajukan menjadi siang hari. Segera kukabarkan pada adikku bahwa Bapak sedang
mampir ke Semarang, dan kuminta dia untuk segera menuju kostku.
***
“ALLAHU
AKBAR…..ALLAAAHU AKBAR…!!!”, suara adzan pertanda masuknya waktu bagi seluruh
laki-laki yang beragama islam untuk menunaikan ibadah Jumat mulai berkumandang.
Bapak dan adikku tengah bersiap untuk melaksanakan ibadah Jumat, sedangkan aku pergi
menuju warung makan itu lagi untuk membeli makanan santap siang untuk kami
bertiga.
Seusai ibadah
jumat, kami pun menyantap makanan yang telah kubeli di warung tadi. Tak
berselang lama, kami pun telah siap dengan barang bawaan masing-masing. Aku
dengan barang-barangku untuk mengikuti kegiatan TR 2, sedangkan Bapakku telah
siap dengan barang bawaannya berikut bekal perjalanan menuju rumah Nenek di
Majenang. Kuminta adikku mengantarkan Bapak sampai di terminal atau tempat yang
biasa dilewati Bus tujuan Purwokerto, Jawa Tengah. Sebenarnya aku sangat berat
hati berpisah dengan Bapak, karena kami baru sebentar saja bertemu. Tidak
seperti teman-teman yang berasal dari Jawa yang bisa bebas bertemu keluarga
mereka kapan saja, bagiku pertemuan dengan keluargaku (Bapakku) adalah sebuah
peristiwa yang sangat jarang sekali terjadi. Ingin sekali aku ikut mengantar
beliau ke terminal, namun apa daya, panitia acara telah berpesan bahwa kami
harus datang tepat waktu dan tidak boleh telat. Aku pun berpamitan dengan
Bapakku, kucium tangan dan pipinya, kuucapkan salam perpisahan dan lambaian
tangan. “Selamat jalan Bapak…!!”, bisikku dalam hati. Kulihat Bapakku menatapku
lekat.
Setibanya di GSG
aku pun segera bergabung dengan teman-teman dari Fakultas lain sembari mencari
teman-teman sekelasku yang merupakan delegasi dari Albahrain, namun ternyata
mereka belum datang. Hatiku cemas, dalam hati aku berharap, “Semoga Bapak segera
mendapatkan busnya dan selamat sampai tujuan, Aamiiiin…”.
Akhirnya salah seorang
teman sekelasku tiba. Kami pun saling bicara sambil menunggu pengumuman keberangkatan
dari panitia. Satu jam berlalu, namun belum ada juga pengumuman dari panitia. Aku
mulai gelisah, kucoba untuk terus menuggu dengan sabar sambil berusaha menghilangkan
kegelisahanku dengan mengobrol bersama teman-teman lainnya.
Waktu
menunjukkan pukul 14.00 WIB, dan kami masih menunggu. Aku mulai kesal dan
merasa dongkol karena tidak ada
informasi apapun dari panitia. Satu jam kemudian, pukul 15.00 WIB, namun belum juga
ada juga kejelasan dari panitia mengenai waktu keberangkatan peserta menuju
lokasi acara. Aku makin kesal dan semakin menjadi tidak sabaran.
“ALLAHU
AKBAR….ALLAAAAHU AKBAR….!!!”, adzan ashar pun berkumandang, meredam sejenak
rasa kesalku yang kian memuncak. Panitia meminta kami shalat di Masjid yang tak
jauh dari lokasi berkumpul kami saat itu, dan selepas sholat ashar akhirnya
kami pun berangkat. “Alhamdulillaah, akhirnya kami berangkat juga..”, kataku
dalam hati.
Sepanjang
perjalanan aku amat menyesali kebijakan panitia yang menetapkan jadwal keberangkatan
pukul 13.00 WIB, namun ternyata tidak ditepati. Bagiku, itu sudah masuk
kategori mendzalimi orang lain karena membuat peserta harus menunggu 3 jam
lamanya. Aku sangat menyesal, seandainya aku tahu bahwa waktu keberangkatan
yang sebenarnya adalah selepas sholat ashar, maka mestinya aku bisa membersamai
Bapakku lebih lama bahkan bisa mengantar beliau sampai ke terminal. Seandainya,
bila memang panitia sedari awal sudah merencanakan waktu keberagkatan selepas
sholat ashar, bukankah panitia dapat menulis dalam surat undangannya bahwa
“PESERTA HARUS TIBA ONTIME, DAN SHOLAT ASHAR BERJAMA’AH DI MASJID DEKAT
GSG…!!??”. Jika panitia beralasan bahwa bila dalam undangan ditulis “Waktu keberangkatan
setelah sholat ashar” maka dikhawatirkan para peserta akan datang terlambat,
sehingga nantinya akan menghambat proses keberangkatan, dan tentunya akan
mengacaukan seluruh rangkaian kegiatan yang sudah ditetapkan sesuai
“schedule-nya”. Maka itu sama saja artinya bahwa para panitia itu seolah-olah
berkata, “KAMI TIDAK PERCAYA KALIAN (PARA PESERTA) AKAN DATANG TEPAT WAKTU
(ONTIME), MAKA KAMI TETAPKAN WAKTU YANG LEBIH AWAL SUPAYA KALIAN TEPAT
WAKTU..!!!”. Namun apakah mereka, para panitia itu, sadar bahwa “kekhawatiran”
mereka itu ternyata telah merugikan kami dan telah meninggalkan kesan negatif
pada kami bahkan sebelum acara yang “sebenarnya” dimulai. Pun, pesan “ONTIME”
yang ingin “ditegaskan” oleh panitia untuk kami para peserta, telah menjadi
bumerang bagi mereka sendiri. Sejatinya para panitia harus lebih bijak dalam
menetapkan suatu urusan, terutama mengenai masalah waktu. Jika memang panitia
tidak menghendaki keterlambatan peserta, maka seharusnya bisa disiasati dengan
berbagai cara. Karena kita tidak pernah tahu tiap hajat atau urusan yang
dimiliki oleh setiap orang.
“Kesan pertama
amat menentukan”, begitu kalimat yang sering disampaikan orang bijak. Ya, kesan
pertama saat bertemu/berkenalan dengan seseorang atau sebuah komunitas akan sangat
menentukan jalinan/hubungan yang akan terbentuk setelahnya, antara berlanjut
atau tidak. Dan kali itu, setelah mengalami kejadian yang mengesalkan itu, aku
beranggapan bahwa panitia telah GAGAL memberikan kesan yang baik bagi para
peserta. Semestinya panitia harus lebih komunikatif kepada peserta, dan tidak
seolah-olah “menelantarkan” para peserta tanpa kejelasan seperti tadi. Kesan
yang baik mestilah dibangun sejak awal sehingga para peserta akan selalu
antusias dalam mengikuti seluruh rangkaian kegiatan, dari awal hingga akhir
penutupan.
Dan benar saja,
setelah menempuh perjalanan yang cukup “menjemukan”, disambung dengan acara
pembukaan dan rentetan kegiatan yang berlangsung setelahnya, aku sudah tidak
menunjukkan minatku pada acara itu. Bahkan, sesi muhasabah yang menjadi puncak dari
acaranya pun tidak dapat mengubah mood-ku yang sudah terlanjur buruk/jelek.
Sehingga, ketika seusai acara ada salah seorang seniorku di Albahrain yang
bertanya padaku tentang acara itu, dengan enteng saja kujawab “Tidak menarik”.
Sungguh amat
disayangkan. acara TR 2 yang dirancang untuk meng-up grade tsaqofah/wawasan keislaman dan tata kelola (manajerial)
dakwah kampus menjadi kurang bermakna dan tidak mencapai output yang diharapkan. Aku sama sekali tidak menyesal telah
mengikuti kegiatan itu. Namun yang kusesali adalah, kenapa jadwal berangkat
acara tidak dikomunikasikan dengan baik sehingga aku telah kehilangan waktu
“emas”ku untuk membersamai Bapakku selama 3 jam lamanya. Terkesan melankolis
memang, namun kurasa aku memang berhak atas waktuku yang sangat berharga itu. Mengapa?,
karena itulah saat terakhirku bertemu Bapakku sebelum akhirnya beliau dipanggil
Yang Maha Kuasa, Allah SWT. “Inna lillaahi wa inna ilahi rooji’uuuun”.
Kawan, ceritaku
tadi mungkin hanya sebuah contoh seringkalinya kita mengabaikan pentingnya
masalah waktu. Pada sebuah kesempatan, aku pernah bertanya kepada kepada salah seorang akhwat mengenai
kondisi departemen/bidangnya di Rohis Albahrain. Ia mengeluhkan adanya
salah seorang pengurus akhwat yang tidak mau hadir lagi dalam musyawarah
(syuro) padahal dia dulunya merupakan pengurus yang aktif dan selalu hadir
tepat waktu (ontime).
“Trus, memangnya kenapa dia ndak mau datang lagi?”, tanyaku
“Sepertinya sih Mbak,
itu karena musyawarah/syuronya selalu molor dari waktu yang
telah disepakati. Kadang, dia menunggu sampai
lama sekali baru teman-teman pengurus lainnya datang, termasuk kakak-kakak pengurus senior”, jawabnya
“Wah, keterlaluan sekali
ya…, itu kan sama artinya
menzhalimi orang lain”, sahutku
“Iya Mbak, memang budaya untuk hadir tepat waktu seringkali masih disepelekan. Padahal,
itu bisa menjadi parameter seberapa niat
dan ghirah
(semangat) kita utuk membangun umat”, ujarnya.
“Huuh,
bagaimana mau membangun umat?, memperbaiki diri sendiri aja belum optimal”, kataku menimpali.
“Iya
Mbak, aku setuju sekali. Padahal ya Mbak, akhwat
itu dulunya sangat
bersemangat sekali di awal kepengurusan. Namun setelah
berulang kali syuro tidak tepat waktu, dia merasa bahwa organisasi
Rohis ini tidak profesional
jika dibanding dengan unit
kegiatan mahasiswa (UKM) lain. Akhirnya dia mengundurkan diri, dan
berencana mendaftar di
UKM yang lain. Padahal dulu
ketika dia mendaftar masuk menjadi pengurus Rohis, motivasinya adalah
ingin menjadikan pribadinya lebih baik dari sebelumnya”.
“Hmm…,
coba kamu dekati dia lagi ya, berikan dia motivasi…!. Sungguh sangat
disayangkan jika kita kehilangan satu saja pasukan dalam barisan dakwah ini”,
aku mencoba menasehati.
“Seorang Ustadzah, pernah
berkata bahwa:’Janganlah kalian menganggap enteng perkara telat waktu,
walau kalian dianggap seorang aktivis. Baik itu
di dalam ataupun di luar kampus, bahkan aktivis
dakwah sekalipun!. Karena waktu
yang dihabiskan teman-temanmu tatkala menunggumu saat rapat
atau syuro, semuanya akan dihitung
dan dipertanggungjawabkan!. Waktu yang kamu habiskan saat
semua teman-temanmu menanti
karena keterlambatanmu, itu semua akan terhitung sebagai waktumu menzholimi mereka. Mampukah kamu mengembalikan
waktu mereka?. Ingatlah!, jangan
sampai karena
perbuatan menzholimi itu mengakibatkan waktu dalam
hidupmu menjadi tidak berkah,
na’udzubillah min dzalik!”, sambungku.
***
Kawan, setiap kita pasti pernah terlambat. Namun, tidak ada kata terlambat untuk belajar memperbaiki
manajemen diri. Marilah berusaha untuk tepat waktu, tepat janji, dan tepat menjalankan amanah.
Sebagai penutup, izinkan kukutip sebuah nasehat dari A. Fuadi (Penulis Novel
Best Seller “Negeri 5 Menara”) berikut ini: “Sesuatu yang paling setia dalam hidup ini mungkin adalah
waktu. Dia tidak pernah ingkar janji dan akan selalu hadir berkunjung kemana
pun dan kepada siapa pun,
walau topan badai sedang mengamuk. Dia datang dalam bentuk tanggal, dalam
bentuk hari, dalam bentuk bulan bahkan abad. Dia selalu tepat waktu, tidak
telat sedetik pun,
dan tak
kan lebih awal walau
sedikit
pun”.
~ SEKIAN ~
Written by: Sri
Ujiyanti (Editor: Ibadibadi)
Rabu, 20 Januari 2016
:::: Selalu Ada Konsekuensi Untuk Setiap Keterlambatan ::::
Sore nanti aku akan melaksanakan ujian akhir yang akan menentukan kelulusanku di sebuah perguruan tinggi kejuruan swasta. Ujian akhir dilakukan 1 kali dalam setahun, sehingga apabila tidak lulus maka akan mengulang di tahun berikutnya. Untuk itu, aku telah mempersiapkan semuanya; pakaian, perlengkapan, dan tentunya materi2 yang akan diujikan telah kukuasai semuanya. “Aku ingin hasil yang terbaik dalam ujian ini”, bisikku dalam hati. Untuk mengurangi kegugupan dan rasa khawatirku, kuputar saja MP3 Murottal Alquran dari komputerku, kadang kuselipkan do’a2 supaya Allah memberikanku ketenagan.
Waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB. Masih ada 1,5 jam dari waktu pelaksanaan ujian. Tapi aku harus berangkat saat ini juga. Aku tidak ingin terlambat sedikit saja, yang dapat menghambatku dalam mengerjakan ujian.
Benar saja, hujan tiba-tiba turun rintik demi rintik namun cukup membasahi siapapun yang berkendara di bawahnya. Kutepikan motorku, lalu segera kukenakan mantelku sambil berbisik kecil “Untung saja aku berangkat lebih awal, jadi aku tidak perlu tergesa-gesa di tengah terpaan hujan ini, Alhamdulillaah…”. Lalu kulanjutkan perjalananku menuju kampusku.
Jalanan tampak sepi, karena sebagian orang memilih untuk berteduh menunggu hujan reda. Namun aku tak mau mengambil resiko, karena biasanya hujan tipe begini akan berlangsung cukup lama. Toh, aku sudah menggunakan mantel yang menutupi semua, kecuali sepatu pantofel yang itupun cukup dilap saja.
“BRAAAAAAAAAKKKKKKK………”, terdengar suara keras tidak jauh dari arah depanku.
“Astaghfirullahal azhiiiim……Inna lillaahi wa inna ilaihi rooji’uuuun…”, kulihat sebuah mobil melesat kencang setelah menabrak seorang pengendara motor. “Kurang Ajar…!”, bentakku dalam hati. “Ini adalah sebuah Tabrak lari!!!.
Segera kudekati pengendara motor yang terkapar di jalanan itu. Kutepikan motorku, lalu segera kuberlari menghampirinya. “Inna lillaah…”, kulihat darah segar keluar dari beberapa bagian tubuhnya, terutama pada daerah sekitar kepala.
Aku bingung, harus berbuat apa. Jalanan sangat sepi, tidak ada orang/kendaraan lain yang melintas, hanya kami berdua. “118…, Nomor telepon Ambulance…!!!”, aku teringat sambil setengah berteriak. Segera kuketik nomor telepon 118, Alhamdulillah tersambung. Cukup lama aku menunggu, namun tidak ada yang mengangkat teleponnya. Kucoba menelpon lagi, namun lagi-lagi tidak ada yang mengangkat.
Kemudian aku teringat, “110…..Nomor telepon Polisi….!”
Kucoba menghubungi nomor tersebut, namun parahnya nomor itu tidak bisa dihubungi. “Siaaalll…”, kataku dalam hati. Sejak kecil aku diajari untuk menghubungi nomor2 itu bila menghadapi kondisi darurat, namun kali ini, saat aku benar2 memerlukannya ternyata nomor2 itu tidak ada yang bisa dihubungi. “Siaall!!”, bentakku.
Kulihat jam tanganku, “Oh Tidaaakk…”, hanya tersisa waktu 30 menit sebelum ujian akhirku akan dimulai. Padahal jarakku sekarang dengan kampusku kurang lebih 20 menit perjalanan bila ditempuh secara normal, tidak dalam kondisi hujan seperti sekarang ini. Aku menjadi kalap, marah pada diriku, marah pada kenyataan yang kini sedang kuhadapi. “Kenapa semua ini terjadi padaku?... Kenapa ini terjadi pada saat yang bersamaan dengan waktu ujian akhir yang sangat penting bagiku??... Kenapa??”.
“Astaghfirullahal azhiiim…”, aku segera menyadari kesalahanku. Segera kuraih handphone-ku, lalu kutelpon sahabatku yang juga akan mengikuti ujian nanti, “Halo, Assalamu’alaikum… Fahri, kamu sudah sampai di kampus?”. Lalu kuceritakan padanya apa yang sedang terjadi padaku. Kukatakan padanya untuk memberitahu pihak pengawas ujian bahwa aku “kemungkinan” akan terlambat hadir mengikuti ujian karena sedang mendapat musibah. Fahri pun menyanggupinya. Sebenarnya ia ingin menyusulku kesini, namun segera kularang karena ia pun harus mengikuti ujian tersebut. Aku hanya mengharapkan doanya, sambil bila ia punya kenalan di daerah sekitar TKP ini, alangkah baiknya jika dihubungi untuk mengirim bantuan.
Tak lama berselang, tampak sebuah mobil hendak melintas. Segera kulambaikan tanganku, berusaha menghentikan kendaraan itu. Alhamdulillah mobil itu pun berhenti. Kulihat dari jendela mobil, ada sekitar 5 orang pemuda berpakaian setelan batik, duduk rapi di mobil itu. Sebagian keluar menghampiriku, sebagiannya lagi tampak tengah beranjak dari duduknya sambil melihat dari balik kaca. Kutanyakan pada mereka apakah berkenan untuk mengantarkan korban ke rumah sakit. Awalnya mereka tampak ragu, karena mobil yang mereka tumpangi adalah mobil sewaan. Tentunya mereka khawatir bila mobil itu terkena noda darah yang konon, “katanya”, sulit untuk dibersihkan. Namun, seseorang yang tampak lebih tua di antara mereka berhasil meyakinkan teman-temannya, dan korban pun dimasukkan ke dalam mobil. “Alhamdulillaah”, bisikku dalam hati.
Kukatakan pada mereka, bahwa aku harus mengerjakan ujian kelulusanku. Aku mohon ijin untuk menuju kampusku, dan kuberikan KTP asli ku sebagai jaminan bahwa aku bukannya ingin lari dari “tanggungjawab” ku, tapi memang karena aku harus menghadapi ujian itu.
Apa mau dikata, mereka menolak. Meskipun mereka yakin bukan aku yang menabraknya, tapi mereka juga tidak mau mengambil resiko, karena akulah yang menjadi saksi dalam kecelakaan tersebut. Sudah menjadi rahasia umum di negeri ini, bilamana saksi yang niatnya berbaik hati malah dijadikan tersangka karena kurangnya bukti. Oh…Alangkah lucunya negeri ini…..!.
Kuturuti permintaan mereka, sambil kuminta 2 orang dari mereka untuk mengamankan motorku dan motor si korban. Lalu kami segera bergegas ke Rumah Sakit. Dalam hati kuberdo’a, “Ya Allah, berikanlah aku ketabahan. Dan lunakkanlah hati para pengawas ujian, semoga mereka menerima alasan keterlambatanku dan memberikan aku tambahan waktu. Aamiiiin”
Sesampainya di Rumah Sakit, kami langsung bergegas memberitahu pihak UGD untuk memberikan pertolongan dan perawatan intensif kepada korban. Setelah mengurus proses administrasi beserta berita acara kronologi kejadian kecelakaan (dilengkapi identitas dan nomor teleponku sebagai saksi), kami pun sholat ashar bersama lalu saling berpamitan. Aku sangat berterimakasih kepada mereka karena telah bersedia membantu, dan telah membawakan sepeda motorku ke Rumah Sakit. Mereka pun mendoakanku semoga dimudahkan dalam ujian akhirku. Kami pun berpisah.
Kucoba menghubungi nomor tersebut, namun parahnya nomor itu tidak bisa dihubungi. “Siaaalll…”, kataku dalam hati. Sejak kecil aku diajari untuk menghubungi nomor2 itu bila menghadapi kondisi darurat, namun kali ini, saat aku benar2 memerlukannya ternyata nomor2 itu tidak ada yang bisa dihubungi. “Siaall!!”, bentakku.
Kulihat jam tanganku, “Oh Tidaaakk…”, hanya tersisa waktu 30 menit sebelum ujian akhirku akan dimulai. Padahal jarakku sekarang dengan kampusku kurang lebih 20 menit perjalanan bila ditempuh secara normal, tidak dalam kondisi hujan seperti sekarang ini. Aku menjadi kalap, marah pada diriku, marah pada kenyataan yang kini sedang kuhadapi. “Kenapa semua ini terjadi padaku?... Kenapa ini terjadi pada saat yang bersamaan dengan waktu ujian akhir yang sangat penting bagiku??... Kenapa??”.
“Astaghfirullahal azhiiim…”, aku segera menyadari kesalahanku. Segera kuraih handphone-ku, lalu kutelpon sahabatku yang juga akan mengikuti ujian nanti, “Halo, Assalamu’alaikum… Fahri, kamu sudah sampai di kampus?”. Lalu kuceritakan padanya apa yang sedang terjadi padaku. Kukatakan padanya untuk memberitahu pihak pengawas ujian bahwa aku “kemungkinan” akan terlambat hadir mengikuti ujian karena sedang mendapat musibah. Fahri pun menyanggupinya. Sebenarnya ia ingin menyusulku kesini, namun segera kularang karena ia pun harus mengikuti ujian tersebut. Aku hanya mengharapkan doanya, sambil bila ia punya kenalan di daerah sekitar TKP ini, alangkah baiknya jika dihubungi untuk mengirim bantuan.
Tak lama berselang, tampak sebuah mobil hendak melintas. Segera kulambaikan tanganku, berusaha menghentikan kendaraan itu. Alhamdulillah mobil itu pun berhenti. Kulihat dari jendela mobil, ada sekitar 5 orang pemuda berpakaian setelan batik, duduk rapi di mobil itu. Sebagian keluar menghampiriku, sebagiannya lagi tampak tengah beranjak dari duduknya sambil melihat dari balik kaca. Kutanyakan pada mereka apakah berkenan untuk mengantarkan korban ke rumah sakit. Awalnya mereka tampak ragu, karena mobil yang mereka tumpangi adalah mobil sewaan. Tentunya mereka khawatir bila mobil itu terkena noda darah yang konon, “katanya”, sulit untuk dibersihkan. Namun, seseorang yang tampak lebih tua di antara mereka berhasil meyakinkan teman-temannya, dan korban pun dimasukkan ke dalam mobil. “Alhamdulillaah”, bisikku dalam hati.
Kukatakan pada mereka, bahwa aku harus mengerjakan ujian kelulusanku. Aku mohon ijin untuk menuju kampusku, dan kuberikan KTP asli ku sebagai jaminan bahwa aku bukannya ingin lari dari “tanggungjawab” ku, tapi memang karena aku harus menghadapi ujian itu.
Apa mau dikata, mereka menolak. Meskipun mereka yakin bukan aku yang menabraknya, tapi mereka juga tidak mau mengambil resiko, karena akulah yang menjadi saksi dalam kecelakaan tersebut. Sudah menjadi rahasia umum di negeri ini, bilamana saksi yang niatnya berbaik hati malah dijadikan tersangka karena kurangnya bukti. Oh…Alangkah lucunya negeri ini…..!.
Kuturuti permintaan mereka, sambil kuminta 2 orang dari mereka untuk mengamankan motorku dan motor si korban. Lalu kami segera bergegas ke Rumah Sakit. Dalam hati kuberdo’a, “Ya Allah, berikanlah aku ketabahan. Dan lunakkanlah hati para pengawas ujian, semoga mereka menerima alasan keterlambatanku dan memberikan aku tambahan waktu. Aamiiiin”
Sesampainya di Rumah Sakit, kami langsung bergegas memberitahu pihak UGD untuk memberikan pertolongan dan perawatan intensif kepada korban. Setelah mengurus proses administrasi beserta berita acara kronologi kejadian kecelakaan (dilengkapi identitas dan nomor teleponku sebagai saksi), kami pun sholat ashar bersama lalu saling berpamitan. Aku sangat berterimakasih kepada mereka karena telah bersedia membantu, dan telah membawakan sepeda motorku ke Rumah Sakit. Mereka pun mendoakanku semoga dimudahkan dalam ujian akhirku. Kami pun berpisah.
Segera
kupacu sepeda motorku, dan akhirnya aku pun tiba di kampus. Kulihat jam
tanganku, “Inna lillah…. waktu ujian hanya tersisa 15 menit dari 120
menit waktu yang diberikan. Segera kuberlari menyusuri tangga menuju
ruang ujian. Kuketuk pintu dan aku memohon ijin kepada kepala pengawas
untuk mengikuti ujian. Ia pun mengizinkanku dan memberikanku lembaran
soal ujian. “Bismillaahirrohmanirrohiim…”, kataku memulai mengerjakan
ujian.
“Oke anak2… waktu sudah habis, segera tinggalkan lembar jawaban di kursi masing2. Periksa kembali nama dan nomor induk masing2”, teriak kepala pengawas ujian memecah keheningan seisi ruangan kelas.
Semua orang tampak mulai meninggalkan kelas. Hanya aku yang masih fokus melanjutkan pengerjaan ujianku. Aku yakin, kepala pengawas akan memberikanku toleransi waktu karena keterlambatanku, toh Fahri pun telah memberitahu kepala pengawas mengenai alasan keterlambatanku.
Kepala pengawas dan pengawas2 lainnya mulai mengumpulkan lembar2 jawaban yang ditinggalkan para peserta ujian di kursinya. Sampai akhirnya tinggal aku sendiri yang belum menyerahkan hasil ujianku. Tiba2 kepala pengawas berkata, “Hai Nak, kamu tidak mau mengumpulkan hasil ujianmu?”. “Iya Pak, saya masih belum menyelesaikan soal-soal ini”, jawabku.
“Jadi kamu tidak mau mengumpulkannya ya?, kalau begitu lembar jawabanmu tidak akan dinilai”, ujarnya setengah membentak.
“Tapi Pak…, protesku sambil berlari mengejar kepala pengawas ujian yang tampak beranjak meninggalkan ruangan.
“Pak…. tunggu Pak… apakah saya tidak mendapat toleransi waktu?”, tanyaku.
“Tidak”, jawabnya.
“Tapi mengapa Pak?, bukan kah Fahri sudah memberitahu Bapak tentang alasan keterlambatan saya?”, tanyaku memprotes.
“Iya, dia sudah mengatakannya”, jawabnya lugas.
“Lantas, mengapa bapak tidak memberikan tambahan waktu kepada saya?”, protesku.
Kepala pengawas lalu memegang kedua pundakku seraya berkata:
“Nak…., SELALU ADA KONSEKUENSI UNTUK SETIAP KETERLAMBATAN. Meskipun kamu yakin dan berusaha meyakinkan kami bahwa ada sebuah alasan besar yang mengakibatkan keterlambatanmu, namun keterlambatan adalah sebuah kesalahan. Dan kamu tidak punya pilihan lain, selain menerima konsekuensinya”.
“Jika kamu mampu berjiwa besar, karena telah berupaya menolong orang dengan keikhlasanmu, lantas mengapa kali ini kamu tidak menunjukkan KEBESARAN JIWAMU dengan menerima konsekuensi/akibat dari keterlambatanmu”.
“Satu pesanku padamu Nak…, jangan pernah menyesal karena telah berbuat baik, meskipun kesudahannya tidak mengenakkan bagimu. Tapi yakin lah, bahwa Tuhanmu Maha Melihat, dan ia tidak akan menyia2kan kebaikan hamba Nya. Bersabar lah Nak, kamu adalah anak yang baik”.
Tak terasa, air mata mulai mengalir melewati kelompak mataku. Antara setengah tidak percaya dengan jawaban yang baru saja kudengar dan karena kesedihanku akibat aku tidak bisa menyelesaikan ujian yang telah sangat kupersiapkan dengan matang. “Astaghfirullahal azhiiim….Inna lillaahi wa inna ilahi rooji’uuuun”, lirihku.
Aku segera teringat perkataan Nabi Ya’qub a.s tatkala mendengar berita kematian anak kesayangannya Yusuf a.s,
“MAKA KESABARAN YANG BAIK ITULAH (KESABARANKU). Dan Allah sajalah yang dimohonkan pertolongan Nya terhadap apa yang kamu ceritakan” (Q.S. Yusuf: 18).
Perkataan yang serupa juga diungkapkan Nabi Ya’qub tatkala mendengar kabar bahwa anaknya Bunyamin (saudara kandung nabi Yusuf a.s) ditahan oleh Penguasa Mesir karena “mencuri” sebuah Piala Raja.
“MAKA KESABARAN YANG BAIK ITULAH (KESABARANKU). Mudah2an Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku, sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Q.S. Yusuf: 83)
Segera kutengadahkan kedua tanganku ke langit, sambil berdo’a, “Robbana afrigh alainaa shobron, wa tsabbit aqdaamanaa wanshurnaa alal qoumil kaafiriiin (Ya Tuhan kami, karuniakan lah kepada kami kesabaran, dan kokohkan kaki (pijakan) kami, dan selamatkan lah kami dari orang2 kafir. Aamiiiiin”.
Mataram, 5 Jan 2016 (18:39 WITA)
Selesai.
“Oke anak2… waktu sudah habis, segera tinggalkan lembar jawaban di kursi masing2. Periksa kembali nama dan nomor induk masing2”, teriak kepala pengawas ujian memecah keheningan seisi ruangan kelas.
Semua orang tampak mulai meninggalkan kelas. Hanya aku yang masih fokus melanjutkan pengerjaan ujianku. Aku yakin, kepala pengawas akan memberikanku toleransi waktu karena keterlambatanku, toh Fahri pun telah memberitahu kepala pengawas mengenai alasan keterlambatanku.
Kepala pengawas dan pengawas2 lainnya mulai mengumpulkan lembar2 jawaban yang ditinggalkan para peserta ujian di kursinya. Sampai akhirnya tinggal aku sendiri yang belum menyerahkan hasil ujianku. Tiba2 kepala pengawas berkata, “Hai Nak, kamu tidak mau mengumpulkan hasil ujianmu?”. “Iya Pak, saya masih belum menyelesaikan soal-soal ini”, jawabku.
“Jadi kamu tidak mau mengumpulkannya ya?, kalau begitu lembar jawabanmu tidak akan dinilai”, ujarnya setengah membentak.
“Tapi Pak…, protesku sambil berlari mengejar kepala pengawas ujian yang tampak beranjak meninggalkan ruangan.
“Pak…. tunggu Pak… apakah saya tidak mendapat toleransi waktu?”, tanyaku.
“Tidak”, jawabnya.
“Tapi mengapa Pak?, bukan kah Fahri sudah memberitahu Bapak tentang alasan keterlambatan saya?”, tanyaku memprotes.
“Iya, dia sudah mengatakannya”, jawabnya lugas.
“Lantas, mengapa bapak tidak memberikan tambahan waktu kepada saya?”, protesku.
Kepala pengawas lalu memegang kedua pundakku seraya berkata:
“Nak…., SELALU ADA KONSEKUENSI UNTUK SETIAP KETERLAMBATAN. Meskipun kamu yakin dan berusaha meyakinkan kami bahwa ada sebuah alasan besar yang mengakibatkan keterlambatanmu, namun keterlambatan adalah sebuah kesalahan. Dan kamu tidak punya pilihan lain, selain menerima konsekuensinya”.
“Jika kamu mampu berjiwa besar, karena telah berupaya menolong orang dengan keikhlasanmu, lantas mengapa kali ini kamu tidak menunjukkan KEBESARAN JIWAMU dengan menerima konsekuensi/akibat dari keterlambatanmu”.
“Satu pesanku padamu Nak…, jangan pernah menyesal karena telah berbuat baik, meskipun kesudahannya tidak mengenakkan bagimu. Tapi yakin lah, bahwa Tuhanmu Maha Melihat, dan ia tidak akan menyia2kan kebaikan hamba Nya. Bersabar lah Nak, kamu adalah anak yang baik”.
Tak terasa, air mata mulai mengalir melewati kelompak mataku. Antara setengah tidak percaya dengan jawaban yang baru saja kudengar dan karena kesedihanku akibat aku tidak bisa menyelesaikan ujian yang telah sangat kupersiapkan dengan matang. “Astaghfirullahal azhiiim….Inna lillaahi wa inna ilahi rooji’uuuun”, lirihku.
Aku segera teringat perkataan Nabi Ya’qub a.s tatkala mendengar berita kematian anak kesayangannya Yusuf a.s,
“MAKA KESABARAN YANG BAIK ITULAH (KESABARANKU). Dan Allah sajalah yang dimohonkan pertolongan Nya terhadap apa yang kamu ceritakan” (Q.S. Yusuf: 18).
Perkataan yang serupa juga diungkapkan Nabi Ya’qub tatkala mendengar kabar bahwa anaknya Bunyamin (saudara kandung nabi Yusuf a.s) ditahan oleh Penguasa Mesir karena “mencuri” sebuah Piala Raja.
“MAKA KESABARAN YANG BAIK ITULAH (KESABARANKU). Mudah2an Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku, sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Q.S. Yusuf: 83)
Segera kutengadahkan kedua tanganku ke langit, sambil berdo’a, “Robbana afrigh alainaa shobron, wa tsabbit aqdaamanaa wanshurnaa alal qoumil kaafiriiin (Ya Tuhan kami, karuniakan lah kepada kami kesabaran, dan kokohkan kaki (pijakan) kami, dan selamatkan lah kami dari orang2 kafir. Aamiiiiin”.
Mataram, 5 Jan 2016 (18:39 WITA)
Selesai.
Cerita ini hanya fiktif belaka, adanya kesamaan tokoh atau jalan cerita hanyalah kebetulan semata.
“Selamat datang di Dunia Kampus”, bisikku
dalam hati. Hari ini adalah hari pertamaku menginjakkan kaki di kampus Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Diponegoro. Hari yang sangat
mengesankan bagiku, karena begitu banyak orang yang memimpikan dapat menyandang
predikat “Mahasiswa”, dan kini aku menjadi salah satu dari mereka, para
mahasiswa.
Namun, rasa
senangku tidak berlangsung lama. Saat tengah asyik berkenalan dengan teman
sesama mahasiswa baru, tiba-tiba ada seorang mahasiswa senior berteriak lantang
memecah keheningan, “Hitungan ke-10, semuanya harus baris rapi sepuluh ber-shaf
sesuai program studinya masing-masing!!, 1...2…3…….”.
Ya, hari ini
adalah hari pertama masa orientasi perkenalan kampus (OSPEK). Bayanganku akan
indahnya dunia kampus, sejak saat ini telah sirna dan berganti dengan rasa
kesal yang luar biasa. Aku tidak habis pikir, mengapa mereka, para senior itu,
menyuruh kami membuat topi dari bola plastik yang dibagi dua. Membuat kalung
tanda pengenal berikut “asesorisnya” berupa petai dan ikan asin. “Yaaaackkhh…”,
aku marah sekaligus jijik pada diriku dengan tampilan seperti ini. Lebih marah
lagi aku kepada para senior itu, yang seperti tidak punya otak, menyuruh kami
berbuat begini. “Apa sih untungnya buat mereka?, Dasar senior beg*!!”, protesku
dalam hati.
Lupakan kejadian
OSPEK yang sangat memalukan itu, sekarang ada lagi kegiatan yang tidak kalah
membingungkan. Nama kegiatannya “GOM (Grand Opening Mentoring)”. “Mentoring??,
apa itu mentoring?”, tanyaku dalam hati. Yang lebih membuatku kesal adalah,
kami, para mahasiswa baru yang beragama islam, DIWAJIBKAN untuk mengenakan
jilbab selama kegiatan ini. Bagi yang sehari-harinya berjilbab sih tidak jadi
soal, tapi bagiku dan teman-temanku yang tidak/belum berjilbab, tentu sangat
kesal. “Kenapa sih kok sok diwajibkan begini!!, kalau memang nda/belum
berjilbab ya jangan dipaksa berjilbab dong!!”, protesku. “Tapi ya sudah lah...,
toh cuman setengah hari dan pas acara ini saja. Nanti kalau sudah selesai tinggal
dibuka saja jilbabnya”, kataku berusaha menenangkan diriku sendiri.
Dan, akhirnya
selesai pulalah acara GOM ini. Kuakui acara ini cukup menarik, terutama
pematerinya yang sangat pandai dalam merangkai kata, seolah-olah kami telah
“terhipnotis” saking terpesonanya. Acara berikutnya adalah pembagian kelompok
mentoring. Yah, kembali lagi ke kata “Mentoring” itu. Namun, kali ini aku sudah
lebih mengerti. Itu pun karena banyak disinggung oleh Pemateri yang aku suka
gayanya tadi itu. Hahaha…
Semua peserta pun
sudah terbagi pada kelompoknya masing-masing. Tiap kelompok berjumlah antara
8-10 orang. Tiap kelompok didampingi oleh seseorang yang disebut sebagi
“Pementor”. Kulihat daftar nama yang ada dalam kelompokku, pada bagian paling
atas tertulis “Pementor: Maria Ulfa”. “Oh… jadi yang menjadi Pementorku adalah
Maria Ulfa ya?, hmm…ga kenal...!!”, kataku dalam hati.
Tak berselang
lama, panitia mengkordinasikan agar setiap peserta berkumpul sesuai kelompoknya
dan bertemu dengan para Pementornya. Aku penasaran, “Mana sih yang namanya
Maria Ulfa?”. Semua peserta tampak berhamburan mencari kelompoknya masing-masing,
begitu pula diriku. Sampai akhirnya aku bertemu dengan seluruh anggota
kelompokku dan… “Oh…, ini toh yang namanya MARIA ULFA…!”, bisikku dalam hati.
Tak terasa,
sudah hampir 5 bulan aku mengikuti aktivitas mentoring ini. Aku yang semula tak
tahu menahu soal mentoring, kini mulai merasakan manfaat dari kegiatan
mentoring ini. Sedikit demi sedikit, pemahamaan keagamaanku yang awalnya kosong
melompong, kini mulai ada sedikit isinya…hihi. Namun, daya tarik terkuat yang
membuatku nyaman berada di mentoring ini adalah karena sosok Pementorku itu.
Ya… Pementorku itu, dialah inspirasiku. Sosoknya yang anggun dalam balutan
busana muslimah sederhana namun sangat berkelas, pintar, berwawasan luas, santun
dan sangat memperhatikan/mengayomi kami, para binaannya, dengan sabar dan
telaten. Tidak jarang, dalam beberapa sesi mentoring, kami juga mendiskusikan
tentang kesulitan yang kami hadapi dalam pelajaran/kuliah disamping materi
agama yang menjadi kurikulum mentoring. Hal ini dikarenakan Pementorku itu
memang pintar, dan penjelasannya lebih mudah dimengerti daripada ketika
dijelaskan oleh Dosenku. Pokoknya Pementorku itu memang “Te.O.Pe.Be.Ge.Te.!!”
Pada suatu
kesempatan, di akhir sesi mentoring, Pementorku berkata, “Adik-adik…, pekan
depan insyaAllah dari Departemen Annisa bekerjasama dengan Departemen Mentoring
akan mengadakan 2 Perlombaan, yaitu: Lomba Kreasi Jilbab Syar’i dan Lomba
Dramatisasi Puisi Tentang Ibu. Ini dalam rangka menyemarakkan peringatan hari Jilbab
Internasional yang jatuh pada tanggal 4 September. Nah…, nanti tolong
dirembugkan ya, siapa yang akan mewakili kelompok mentoring kita untuk
mengikuti kegiatan lomba tersebut. Tolong dipersiapkan ya…. Jika Allah
mentakdirkan kita menjadi juara ya Alhamdulillah…, tapi jika belum rejekinya ya
paling tidak kita sudah berusaha untuk memeriahkan dan telah berikhtiar
semampunya. Semoga Sukses ya…!”.
Entah apa yang
dipikirkan teman-teman kelompok mentoringku ini. Antara ingin mengerjai aku
atau ingin berbuat baik kepadaku bedanya tipis sekali. Aku didaulat untuk
menjadi delegasi kelompokku dalam perlombaan Kreasi Jilbab Syar’i, padahal
sehari-hari aku tidak mengenakan jilbab kecuali saat mentoring. Itu pun karena
mentoringnya sering dilaksanakan di mushola atau masjid sesaat setelah ibadah
sholat. “Huuuuuuhh”, aku menghembus nafas pelan.
Hari pelaksanaan
lomba pun tiba. Aku dan teman-teman kelompokku telah siap mengikuti lomba, dan
hari ini aku benar-benar telah dikerjai. Aku yang sehari-hari tidak berjilbab,
kini telah di”make over” menjadi seorang muslimah berhijab. Salah seorang
temanku berujar, “Kita pasti menang deh… ini adalah model jilbab yang lagi “IN”
banget!. Artis-artis hijabers lagi kecanduan model yang seperti ini!’. Aku
melihat diriku di cermin. Teman-temanku memang cukup berhasil dalam
mendandaniku. Aku nyaris tidak mengenali diriku sendiri. Aku yang dalam
kesehariannya cenderung cuek dalam penampilan, kini berubah 180 derajat. Aku
menyukai penampilanku kali ini, namun aku malu. Ya…, aku malu pada diriku, malu
pada teman-temanku. “Apa kata mereka nanti?, apakah aku akan menjadi bahan
tertawaan mereka??”, kataku dalam hati.
Kukatakan pada
teman-temanku bahwa aku malu. Apalagi teman-temanku ini entah sengaja
mengerjaiku atau tidak, tapi 3 lapis jilbab yang mereka kreasikan untukku ini
sangat menyiksaku. Gerah..!!!. Jika mereka beralasan ini model yang lagi “IN”
dan banyak digunakan para artis, “Halloooww…. mereka kan selalu dikelilingi AC
dan blower, lha aku…???”. Sebenarnya ingin sekali kubuka jilbab yang luar biasa
gerah ini, namun teman-temanku itu terus melarangku dan membujukku untuk lebih
bersabar. “Ya sudah lah…“, kataku kesal. Kami pun berangkat menuju Mushola
Kampus tempat dilangsungkannya perlombaan.
Sesampainya di
Mushola Kampus, kulihat belum banyak orang disana. Antara senang sekaligus
ragu. Senang karena tidak banyak orang yang melihat tampilanku seperti ini,
ragu karena khawatir jangan-jangan acara
perlombaannya tidak jadi. “Lho…kenapa mesti khawatir??, bukan kah seharusnya
aku senang karena bila acaranya tidak jadi maka aku tidak perlu menanggung malu
di depan panitia dan teman-temanku!!”, kataku dalam hati.
Satu demi satu
peserta mulai berdatangan, kulihat juga beberapa pengurus/panitia dari UKK.
Albahrain mulai menata peralatan/perlengkapan lomba. “Dugg…dugg…dugg…”, suara
jantungku berdegup kencang. Kulihat peserta yang lain, kesemuanya mengenakan
pakaian dan yang sederhana namun tampil elegan. Sedangkan aku, dengan jilbab
berlapis-lapis dan dandanan make-up setebalal “1cm”, aku lebih menyerupai
“badut” dibanding peserta lain yang tampak cantik alami. Aku malu…benar-benar
malu…. Aku melihat kearah teman-teman yang telah “berjasa” mendandaniku dengan
tatapan sebal, lalu kuputuskan untuk pergi meninggalkan mushola, pulang kembali
ke kostku.
Belum sampai ke
parkiran motor kampus, aku bertemu Mbak Ulfa Pementorku.
“Mau kemana Dik…?”, dia menyapaku.
“Saya mau pulang Mbak..”, jawabku.
“Loh…kok pulang?, kan acaranya mau
dimulai…”, tanyanya.
“Iya Mbak… saya malu… saya nda PeDe
Mbak… peserta yang lain jilbabnya sederhana tapi cantik Mbak, sedangkan jilbab
saya ini terlalu berlebihan… saya mau pulang saja”, jawabku.
“Loh… kata siapa berlebihan?, ga ah….
Penampilanmu cantik kok… cantik sekali malah… Sayang sekali, masa sudah
cantik-cantik begini tidak jadi ikut lomba… Kalau Mbak yang jadi jurinya, kamu
pasti Mbak pilih menjadi juaranya”, kata Mbak Ulfa mencoba menghiburku.
“Tapi Mbak…”, belum sempat aku
menyelesaikan kalimatku, Pementorku itu langsung menimpali, “Pokoknya kamu nda
boleh pulang, kamu harus ikut lomba… nda ada yang akan mengejek/menertawakanmu.
Kalau ada yang menertawakanmu bilang sama Mbak, nanti Mbak jewer dia!!”.
Aku pun
mengurungkan niatku untuk pulang. Mbak Ulfa menggandeng erat tanganku memasuki
musholla. Tampak kini musholla itu semakin ramai dipenuhi para peserta yang
tampak antusias mengikuti lomba.
Akhirnya lomba
yang dinanti pun dimulai. Sebelumnya, panitia membacakan peraturan lomba. Peserta
lomba kreasi jilbab terdiri dari 3 orang untuk setiap timnya. 2 orang menjadi
kreator jilbab syar’i sedangkan seorang lagi menjadi objeknya. Waktu yang
diberikan hanya 5 menit. “Apa??...hanya 5 menit!!!” sontak para peserta
berteriak histeris.
“Lomba dimulai dalam hitungan
ketiga, 3….2….1……MULAIII..!!!”, teriak ketua panitia memulai perlombaan.
Mushola sempit
itu kini tak ubahnya bak pasar paling ramai se-antero jagad. Baik peserta
maupun panitia tak kuasa menahan tawa melihat keseruan para peserta dalam
mengkreasikan jilbab kepada temannya yang menjadi objek kreasi mereka. Ada yang
memang terampil dan cekatan dalam membentuk lipatan-lipatan jilbab nan indah,
namun tidak sedikit pula yang tampak masih kebingungan mencari-cari model yang
sesuai dengan selera dan keinginan mereka. Bahkan ada beberapa tim yang
mengkombinasikan beberapa model jilbab, pun dengan jumlah jilbab yang
berlapis-lapis sehingga temannya yang menjadi objek tampak kepanasan atau
bahkan ada yang sampai “tercekik” sulit bernafas karena jilbab yang terlalu
ketat.
5 menit waktu
yang diberikan pun telah usai. Kini saatnya penilaian lomba. Kriteria penilaian
meliputi aspek: kekompakan tim, keindahan, dan syar’i. Sembari menunggu
penilaian para juri, acara pun dilanjutkan dengan lomba dramatisasi puisi
tentang Ibu. Berkebalikan dengan suasana saat lomba kreasi jilbab, kali ini
mushola itu “disulap” bak dibayangi awan mendung penuh kesunyian dan kesedihan.
Ya…sebagian besar yang hadir saat itu tak kuasa membendung tangisan air mata haru
kala para peserta, satu demi satu, membacakan puisi tentang Ibu yang sungguh
amat menyentuh. Ada yang menangis karena teringat jasa Ibu mereka yang tak kan
pernah terbalas, ada yang menangis karena sudah lama tak pulang berjumpa dengan
Ibundanya yang berada nan jauh di luar pulau sana, adapula yang menangis karena
terharu melihat teman-temannya yang lain menangis…hihihi. Lomba dramatisasi
puisi Ibu ini pun ditutup dengan penampilan seorang peserta yang menyanyikan
lagu “Ummi” yang dipopulerkan oleh Sulis di akhir puisinya. “Wow… benar-benar
sebuah penampilan yang epik”, kataku dalam hati.
Yang
ditunggu-tunggu pun tiba, saatnya pengumuman pemenang lomba. Deg-degan??, tentu
tidak, karena aku sangat yakin tidak
akan menjadi juara…hahaha. Aku hanya penasaran, “Siapa ya yang akan terpilih
sebagai juara pilihan para juri?” tanyaku dalam hati.
“Juara ketiga
lomba kreasi jilbab dengan total nilai 24, adalah ukhtuna (baca: saudari kita)
Anna Muthmainnah dari program studi Budidaya Perairan”, ketua dewan juri
membacakan hasil penilaiannya. Semua mata yang hadir sontak langsung tertuju
kepada Anna, sang Jawara ketiga. Aku pun terkagum pada Anna yang tampak
terlihat sangat anggun dalam balutan jilbab syar’i nya yang sederhana namun
tampak elegan. “Selamat ya Anna”, kataku setengah berbisik.
“Juara kedua,
dengan total nilai 27, jatuh kepada ukhtuna Bilqis Biblina Syifa dari program
studi Ilmu Kelautan”. Kali ini semua mata tertuju kepadaku. “Eh…, Apaaaaaaa???,
Astaghfirullah….juara kedunya aku..???”, tanyaku tidak percaya. “Kok bisa???,
apa tidak salah??”, lanjutku.
Teman-teman
kelompok mentoringku bersorak kegirangan. Teman-teman lainnya yang berada di
sebelahku sontak langsung menyalamiku, dan memberi ucapan selamat kepadaku.
Kulihat di kejauhan, sosok Pementor idamanku tampak mengacungkan kedua ibu jari
tangannya diiringi sebuah simpul senyuman manis khasnya. Sedangkan aku,
tatapanku menjadi kosong melompong. Aku masih dalam efek kaget karena menjadi
juara 2. Begitu kosongnya pikiranku, sampai-sampai aku tidak mendengar siapa
yang akhirnya terpilih menjadi Sang Juara Pertama. Begitu pula dengan
pengumuman para pemenang lomba dramatisasi puisi, aku sama sekali tidak
mendengarkannya. “Haduuuuh….”, keluhku dalam hati.
Sebelum
penutupan lomba, diadakan pengarahan dari ketua dewan juri yang juga merupakan
salah seorang staff dosen di fakultas perikanan dan ilmu kelautan mengenai
esensi berhijab. Beliau mengutip sebuah firman Allah SWT dalam surat An-nur
(24) ayat 31, “Dan katakanlah kepada
wanita-wanita yang beriman: ’Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara
kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa
nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan khumur ke dadanya”.
Beliau
melanjutkan, “Anak-anakku…khumur
adalah bentuk jamak dari khimar yang
berarti kain penutup kepala, atau dalam bahasa kita disebut jilbab. Ini
menunjukkan bahwa kepala dan dada juga termasuk aurat yang harus ditutup.
Berarti tidak cukup hanya dengan menutupkan jilbab pada kepala saja dan
ujungnya diikatkan ke belakang. Tapi ujung jilbab tersebut harus dibiarkan
terjuntai menutupi dada. Itulah cara yang benar (syar’i) dalam menggunakan jilbab”.
Beliau kemudian
menceritakan tentang pengalaman beliau saat menempuh studi di salah satu
perguruan tinggi di Eropa yang notabene negara non muslim. Beliau mengatakan,
tidak mudah untuk menggunakan jilbab syar’i di negara tersebut, bahkan ada
segolongan masyarakat yang telah termakan stigma negatif tentang jilbab syar’i
yang diidentikkan dengan pelaku terorisme, na’udzu
billahi min dzaalik. Namun, apapun hambatan yang kita hadapi dalam
berjilbab, selama itu tidak sampai mempertaruhkan nyawa (baca: dalam kondisi
darurat), perintah agama tetaplah harus lebih diutamakan.
“Anak-anakku,
ada sebuah fenomena menarik yang terjadi ketika Ibu tinggal di sebuah kawasan pemukiman
di negara tersebut. Sungguh beruntung lah para peremuan yang menggunakan hijab,
karena disana perempuan yang tidak berjilbab bila berjalan melewati daerah
tersebut sering diganggu. Entah dengan siulan, didekati secara tidak sopan,
atau yang lainnya. Sedangkan bila seorang wanita berhijab yang melewati mereka,
ajaibnya orang-orang itu tidak ada yang mengganggu. Mungkin itu karena mereka
mengira bahwa kita dekat dengan Tuhan (baca: Allah SWT) sehingga mereka tidak
berani macam-macam….hahaha”. Beliau melanjutkan, “Maka Maha Benar Allah SWT
dengan segala firmannya, sebagaimana dalam surat Al-Ahzab ayat 59: “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu,
anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan, Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Maka dari itu anak-anakku sekalian,
Ibu menasihati diri ibu pribadi dan mengajak anak-anakku semua, yang sudah
berjilbab sesuai syari’at ‘Alhamdulillaah’, berbahagialah kalian. Yang
jilbabnya belum syari’i, tolong ya Nak dirapihkan. Nah… bagi yang belum
berjilbab, ayo Nak… beranilah untuk mengambil keputusan. Mulai lah berjilbab,
insyaAllah selain kepada diri sendiri, pahalanya juga akan sampai kepada kedua
orangtua kalian. Tadi kan sudah pada pandai membuat dan membacakan puisi
tentang Ibu. Nah, ayok dah tambah lagi pahala buat Ibu dan juga Bapak kalian
dengan cara berjilbab/berhijab sesuai syari’at”, kata Beliau menutup arahannya.
Dadaku terasa
bergemuruh dengan hebatnya. Aku tak kuasa menahan air mataku yang mengalir
deras melewati pipiku. “Astaghfirullahal azhiiiim… Astaghfirullahal azhiiiim… Astaghfirullahal
azhiiiim…”, aku mengulang-ulang istighfarku. Aku malu pada diriku sendiri. Kenapa
sulit sekali rasanya diri ini untuk mulai berhijab. Aku malu bila ditertawakan
dan diejek teman-temanku yang telah mengenal diriku dan kepribadianku sejak
lama. Dengan berjilbab, maka kesan feminim yang ditimbulkan akan sangat kontras
dengan gaya tomboy yang melekat pada diriku sehari-hari. Namun, lagi-lagi,
berhijab adalah sebuah kewajiban bagi perempuan yang sudah akil baligh seperti
diriku. Maka mau tidak mau, aku harus mulai berhijab. “Bismillaahirrohmaanirrohiiim… asyhadu an laa ilaaha illaallaah, wa
asyhadu anna Muhammadan rosuulullaah…, Ya
Allah Yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkan lah hatiku untuk senantiasa
taat pada perintah Mu. Ampunilah dosa dan segala kesalahanku, mudahkan lah
urusanku, lindungilah aku dan jauhkan lah aku dari segala godaan setan yang
terkutuk. Ya Allah Yang Maha Pengasih…, hari ini kuikrarkan pada diriku untuk
melaksanaan salah satu kewajibanku untuk menutup auratku. Kuatkan diriku atas
segala keraguan yang akan menggoyahkan keyakinan hatiku. Baguskan lah akhlakku,
dan jauhkan lah aku dari segala fitnah di dunia dan akhirat. Aamiiiiiin”,
kuakhiri do’aku dengan linangan air mata yang membasahi jilbab “baru”ku.
~
selesai
~
Written by: Ibadibadi & H.F
Langganan:
Postingan (Atom)