Rabu, 20 Januari 2016


Pesona Jilbabmu (Part 1)  
Image result for jilbab kartun
 “Selamat datang di Dunia Kampus”, bisikku dalam hati. Hari ini adalah hari pertamaku menginjakkan kaki di kampus Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Diponegoro. Hari yang sangat mengesankan bagiku, karena begitu banyak orang yang memimpikan dapat menyandang predikat “Mahasiswa”, dan kini aku menjadi salah satu dari mereka, para mahasiswa.
Namun, rasa senangku tidak berlangsung lama. Saat tengah asyik berkenalan dengan teman sesama mahasiswa baru, tiba-tiba ada seorang mahasiswa senior berteriak lantang memecah keheningan, “Hitungan ke-10, semuanya harus baris rapi sepuluh ber-shaf sesuai program studinya masing-masing!!, 1...2…3…….”. 

Ya, hari ini adalah hari pertama masa orientasi perkenalan kampus (OSPEK). Bayanganku akan indahnya dunia kampus, sejak saat ini telah sirna dan berganti dengan rasa kesal yang luar biasa. Aku tidak habis pikir, mengapa mereka, para senior itu, menyuruh kami membuat topi dari bola plastik yang dibagi dua. Membuat kalung tanda pengenal berikut “asesorisnya” berupa petai dan ikan asin. “Yaaaackkhh…”, aku marah sekaligus jijik pada diriku dengan tampilan seperti ini. Lebih marah lagi aku kepada para senior itu, yang seperti tidak punya otak, menyuruh kami berbuat begini. “Apa sih untungnya buat mereka?, Dasar senior beg*!!”, protesku dalam hati.

Lupakan kejadian OSPEK yang sangat memalukan itu, sekarang ada lagi kegiatan yang tidak kalah membingungkan. Nama kegiatannya “GOM (Grand Opening Mentoring)”. “Mentoring??, apa itu mentoring?”, tanyaku dalam hati. Yang lebih membuatku kesal adalah, kami, para mahasiswa baru yang beragama islam, DIWAJIBKAN untuk mengenakan jilbab selama kegiatan ini. Bagi yang sehari-harinya berjilbab sih tidak jadi soal, tapi bagiku dan teman-temanku yang tidak/belum berjilbab, tentu sangat kesal. “Kenapa sih kok sok diwajibkan begini!!, kalau memang nda/belum berjilbab ya jangan dipaksa berjilbab dong!!”, protesku. “Tapi ya sudah lah..., toh cuman setengah hari dan pas acara ini saja. Nanti kalau sudah selesai tinggal dibuka saja jilbabnya”, kataku berusaha menenangkan diriku sendiri.

Dan, akhirnya selesai pulalah acara GOM ini. Kuakui acara ini cukup menarik, terutama pematerinya yang sangat pandai dalam merangkai kata, seolah-olah kami telah “terhipnotis” saking terpesonanya. Acara berikutnya adalah pembagian kelompok mentoring. Yah, kembali lagi ke kata “Mentoring” itu. Namun, kali ini aku sudah lebih mengerti. Itu pun karena banyak disinggung oleh Pemateri yang aku suka gayanya tadi itu. Hahaha…

Semua peserta pun sudah terbagi pada kelompoknya masing-masing. Tiap kelompok berjumlah antara 8-10 orang. Tiap kelompok didampingi oleh seseorang yang disebut sebagi “Pementor”. Kulihat daftar nama yang ada dalam kelompokku, pada bagian paling atas tertulis “Pementor: Maria Ulfa”. “Oh… jadi yang menjadi Pementorku adalah Maria Ulfa ya?, hmm…ga kenal...!!”, kataku dalam hati. 

Tak berselang lama, panitia mengkordinasikan agar setiap peserta berkumpul sesuai kelompoknya dan bertemu dengan para Pementornya. Aku penasaran, “Mana sih yang namanya Maria Ulfa?”. Semua peserta tampak berhamburan mencari kelompoknya masing-masing, begitu pula diriku. Sampai akhirnya aku bertemu dengan seluruh anggota kelompokku dan… “Oh…, ini toh yang namanya MARIA ULFA…!”, bisikku dalam hati.

Tak terasa, sudah hampir 5 bulan aku mengikuti aktivitas mentoring ini. Aku yang semula tak tahu menahu soal mentoring, kini mulai merasakan manfaat dari kegiatan mentoring ini. Sedikit demi sedikit, pemahamaan keagamaanku yang awalnya kosong melompong, kini mulai ada sedikit isinya…hihi. Namun, daya tarik terkuat yang membuatku nyaman berada di mentoring ini adalah karena sosok Pementorku itu. Ya… Pementorku itu, dialah inspirasiku. Sosoknya yang anggun dalam balutan busana muslimah sederhana namun sangat berkelas, pintar, berwawasan luas, santun dan sangat memperhatikan/mengayomi kami, para binaannya, dengan sabar dan telaten. Tidak jarang, dalam beberapa sesi mentoring, kami juga mendiskusikan tentang kesulitan yang kami hadapi dalam pelajaran/kuliah disamping materi agama yang menjadi kurikulum mentoring. Hal ini dikarenakan Pementorku itu memang pintar, dan penjelasannya lebih mudah dimengerti daripada ketika dijelaskan oleh Dosenku. Pokoknya Pementorku itu memang “Te.O.Pe.Be.Ge.Te.!!”

Pada suatu kesempatan, di akhir sesi mentoring, Pementorku berkata, “Adik-adik…, pekan depan insyaAllah dari Departemen Annisa bekerjasama dengan Departemen Mentoring akan mengadakan 2 Perlombaan, yaitu: Lomba Kreasi Jilbab Syar’i dan Lomba Dramatisasi Puisi Tentang Ibu. Ini dalam rangka menyemarakkan peringatan hari Jilbab Internasional yang jatuh pada tanggal 4 September. Nah…, nanti tolong dirembugkan ya, siapa yang akan mewakili kelompok mentoring kita untuk mengikuti kegiatan lomba tersebut. Tolong dipersiapkan ya…. Jika Allah mentakdirkan kita menjadi juara ya Alhamdulillah…, tapi jika belum rejekinya ya paling tidak kita sudah berusaha untuk memeriahkan dan telah berikhtiar semampunya. Semoga Sukses ya…!”.
Entah apa yang dipikirkan teman-teman kelompok mentoringku ini. Antara ingin mengerjai aku atau ingin berbuat baik kepadaku bedanya tipis sekali. Aku didaulat untuk menjadi delegasi kelompokku dalam perlombaan Kreasi Jilbab Syar’i, padahal sehari-hari aku tidak mengenakan jilbab kecuali saat mentoring. Itu pun karena mentoringnya sering dilaksanakan di mushola atau masjid sesaat setelah ibadah sholat. “Huuuuuuhh”, aku menghembus nafas pelan.

Hari pelaksanaan lomba pun tiba. Aku dan teman-teman kelompokku telah siap mengikuti lomba, dan hari ini aku benar-benar telah dikerjai. Aku yang sehari-hari tidak berjilbab, kini telah di”make over” menjadi seorang muslimah berhijab. Salah seorang temanku berujar, “Kita pasti menang deh… ini adalah model jilbab yang lagi “IN” banget!. Artis-artis hijabers lagi kecanduan model yang seperti ini!’. Aku melihat diriku di cermin. Teman-temanku memang cukup berhasil dalam mendandaniku. Aku nyaris tidak mengenali diriku sendiri. Aku yang dalam kesehariannya cenderung cuek dalam penampilan, kini berubah 180 derajat. Aku menyukai penampilanku kali ini, namun aku malu. Ya…, aku malu pada diriku, malu pada teman-temanku. “Apa kata mereka nanti?, apakah aku akan menjadi bahan tertawaan mereka??”, kataku dalam hati. 

Kukatakan pada teman-temanku bahwa aku malu. Apalagi teman-temanku ini entah sengaja mengerjaiku atau tidak, tapi 3 lapis jilbab yang mereka kreasikan untukku ini sangat menyiksaku. Gerah..!!!. Jika mereka beralasan ini model yang lagi “IN” dan banyak digunakan para artis, “Halloooww…. mereka kan selalu dikelilingi AC dan blower, lha aku…???”. Sebenarnya ingin sekali kubuka jilbab yang luar biasa gerah ini, namun teman-temanku itu terus melarangku dan membujukku untuk lebih bersabar. “Ya sudah lah…“, kataku kesal. Kami pun berangkat menuju Mushola Kampus tempat dilangsungkannya perlombaan.

Sesampainya di Mushola Kampus, kulihat belum banyak orang disana. Antara senang sekaligus ragu. Senang karena tidak banyak orang yang melihat tampilanku seperti ini, ragu  karena khawatir jangan-jangan acara perlombaannya tidak jadi. “Lho…kenapa mesti khawatir??, bukan kah seharusnya aku senang karena bila acaranya tidak jadi maka aku tidak perlu menanggung malu di depan panitia dan teman-temanku!!”, kataku dalam hati.
Satu demi satu peserta mulai berdatangan, kulihat juga beberapa pengurus/panitia dari UKK. Albahrain mulai menata peralatan/perlengkapan lomba. “Dugg…dugg…dugg…”, suara jantungku berdegup kencang. Kulihat peserta yang lain, kesemuanya mengenakan pakaian dan yang sederhana namun tampil elegan. Sedangkan aku, dengan jilbab berlapis-lapis dan dandanan make-up setebalal “1cm”, aku lebih menyerupai “badut” dibanding peserta lain yang tampak cantik alami. Aku malu…benar-benar malu…. Aku melihat kearah teman-teman yang telah “berjasa” mendandaniku dengan tatapan sebal, lalu kuputuskan untuk pergi meninggalkan mushola, pulang kembali ke kostku.

Belum sampai ke parkiran motor kampus, aku bertemu Mbak Ulfa Pementorku.
“Mau kemana Dik…?”, dia menyapaku.
“Saya mau pulang Mbak..”, jawabku.
“Loh…kok pulang?, kan acaranya mau dimulai…”, tanyanya.
“Iya Mbak… saya malu… saya nda PeDe Mbak… peserta yang lain jilbabnya sederhana tapi cantik Mbak, sedangkan jilbab saya ini terlalu berlebihan… saya mau pulang saja”, jawabku.
“Loh… kata siapa berlebihan?, ga ah…. Penampilanmu cantik kok… cantik sekali malah… Sayang sekali, masa sudah cantik-cantik begini tidak jadi ikut lomba… Kalau Mbak yang jadi jurinya, kamu pasti Mbak pilih menjadi juaranya”, kata Mbak Ulfa mencoba menghiburku.
“Tapi Mbak…”, belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Pementorku itu langsung menimpali, “Pokoknya kamu nda boleh pulang, kamu harus ikut lomba… nda ada yang akan mengejek/menertawakanmu. Kalau ada yang menertawakanmu bilang sama Mbak, nanti Mbak jewer dia!!”.

Aku pun mengurungkan niatku untuk pulang. Mbak Ulfa menggandeng erat tanganku memasuki musholla. Tampak kini musholla itu semakin ramai dipenuhi para peserta yang tampak antusias mengikuti lomba.
Akhirnya lomba yang dinanti pun dimulai. Sebelumnya, panitia membacakan peraturan lomba. Peserta lomba kreasi jilbab terdiri dari 3 orang untuk setiap timnya. 2 orang menjadi kreator jilbab syar’i sedangkan seorang lagi menjadi objeknya. Waktu yang diberikan hanya 5 menit. “Apa??...hanya 5 menit!!!” sontak para peserta berteriak histeris.  
“Lomba dimulai dalam hitungan ketiga, 3….2….1……MULAIII..!!!”, teriak ketua panitia memulai perlombaan.

Mushola sempit itu kini tak ubahnya bak pasar paling ramai se-antero jagad. Baik peserta maupun panitia tak kuasa menahan tawa melihat keseruan para peserta dalam mengkreasikan jilbab kepada temannya yang menjadi objek kreasi mereka. Ada yang memang terampil dan cekatan dalam membentuk lipatan-lipatan jilbab nan indah, namun tidak sedikit pula yang tampak masih kebingungan mencari-cari model yang sesuai dengan selera dan keinginan mereka. Bahkan ada beberapa tim yang mengkombinasikan beberapa model jilbab, pun dengan jumlah jilbab yang berlapis-lapis sehingga temannya yang menjadi objek tampak kepanasan atau bahkan ada yang sampai “tercekik” sulit bernafas karena jilbab yang terlalu ketat.

5 menit waktu yang diberikan pun telah usai. Kini saatnya penilaian lomba. Kriteria penilaian meliputi aspek: kekompakan tim, keindahan, dan syar’i. Sembari menunggu penilaian para juri, acara pun dilanjutkan dengan lomba dramatisasi puisi tentang Ibu. Berkebalikan dengan suasana saat lomba kreasi jilbab, kali ini mushola itu “disulap” bak dibayangi awan mendung penuh kesunyian dan kesedihan. Ya…sebagian besar yang hadir saat itu tak kuasa membendung tangisan air mata haru kala para peserta, satu demi satu, membacakan puisi tentang Ibu yang sungguh amat menyentuh. Ada yang menangis karena teringat jasa Ibu mereka yang tak kan pernah terbalas, ada yang menangis karena sudah lama tak pulang berjumpa dengan Ibundanya yang berada nan jauh di luar pulau sana, adapula yang menangis karena terharu melihat teman-temannya yang lain menangis…hihihi. Lomba dramatisasi puisi Ibu ini pun ditutup dengan penampilan seorang peserta yang menyanyikan lagu “Ummi” yang dipopulerkan oleh Sulis di akhir puisinya. “Wow… benar-benar sebuah penampilan yang epik”, kataku dalam hati.

Yang ditunggu-tunggu pun tiba, saatnya pengumuman pemenang lomba. Deg-degan??, tentu tidak,  karena aku sangat yakin tidak akan menjadi juara…hahaha. Aku hanya penasaran, “Siapa ya yang akan terpilih sebagai juara pilihan para juri?” tanyaku dalam hati.

“Juara ketiga lomba kreasi jilbab dengan total nilai 24, adalah ukhtuna (baca: saudari kita) Anna Muthmainnah dari program studi Budidaya Perairan”, ketua dewan juri membacakan hasil penilaiannya. Semua mata yang hadir sontak langsung tertuju kepada Anna, sang Jawara ketiga. Aku pun terkagum pada Anna yang tampak terlihat sangat anggun dalam balutan jilbab syar’i nya yang sederhana namun tampak elegan. “Selamat ya Anna”, kataku setengah berbisik.

“Juara kedua, dengan total nilai 27, jatuh kepada ukhtuna Bilqis Biblina Syifa dari program studi Ilmu Kelautan”. Kali ini semua mata tertuju kepadaku. “Eh…, Apaaaaaaa???, Astaghfirullah….juara kedunya aku..???”, tanyaku tidak percaya. “Kok bisa???, apa tidak salah??”, lanjutku.
Teman-teman kelompok mentoringku bersorak kegirangan. Teman-teman lainnya yang berada di sebelahku sontak langsung menyalamiku, dan memberi ucapan selamat kepadaku. Kulihat di kejauhan, sosok Pementor idamanku tampak mengacungkan kedua ibu jari tangannya diiringi sebuah simpul senyuman manis khasnya. Sedangkan aku, tatapanku menjadi kosong melompong. Aku masih dalam efek kaget karena menjadi juara 2. Begitu kosongnya pikiranku, sampai-sampai aku tidak mendengar siapa yang akhirnya terpilih menjadi Sang Juara Pertama. Begitu pula dengan pengumuman para pemenang lomba dramatisasi puisi, aku sama sekali tidak mendengarkannya. “Haduuuuh….”, keluhku dalam hati.

Sebelum penutupan lomba, diadakan pengarahan dari ketua dewan juri yang juga merupakan salah seorang staff dosen di fakultas perikanan dan ilmu kelautan mengenai esensi berhijab. Beliau mengutip sebuah firman Allah SWT dalam surat An-nur (24) ayat 31, “Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ’Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan khumur ke dadanya”

Beliau melanjutkan, “Anak-anakku…khumur adalah bentuk jamak dari khimar yang berarti kain penutup kepala, atau dalam bahasa kita disebut jilbab. Ini menunjukkan bahwa kepala dan dada juga termasuk aurat yang harus ditutup. Berarti tidak cukup hanya dengan menutupkan jilbab pada kepala saja dan ujungnya diikatkan ke belakang. Tapi ujung jilbab tersebut harus dibiarkan terjuntai menutupi dada. Itulah cara yang benar (syar’i) dalam menggunakan jilbab”. 

Beliau kemudian menceritakan tentang pengalaman beliau saat menempuh studi di salah satu perguruan tinggi di Eropa yang notabene negara non muslim. Beliau mengatakan, tidak mudah untuk menggunakan jilbab syar’i di negara tersebut, bahkan ada segolongan masyarakat yang telah termakan stigma negatif tentang jilbab syar’i yang diidentikkan dengan pelaku terorisme, na’udzu billahi min dzaalik. Namun, apapun hambatan yang kita hadapi dalam berjilbab, selama itu tidak sampai mempertaruhkan nyawa (baca: dalam kondisi darurat), perintah agama tetaplah harus lebih diutamakan. 

“Anak-anakku, ada sebuah fenomena menarik yang terjadi ketika Ibu tinggal di sebuah kawasan pemukiman di negara tersebut. Sungguh beruntung lah para peremuan yang menggunakan hijab, karena disana perempuan yang tidak berjilbab bila berjalan melewati daerah tersebut sering diganggu. Entah dengan siulan, didekati secara tidak sopan, atau yang lainnya. Sedangkan bila seorang wanita berhijab yang melewati mereka, ajaibnya orang-orang itu tidak ada yang mengganggu. Mungkin itu karena mereka mengira bahwa kita dekat dengan Tuhan (baca: Allah SWT) sehingga mereka tidak berani macam-macam….hahaha”. Beliau melanjutkan, “Maka Maha Benar Allah SWT dengan segala firmannya, sebagaimana dalam surat Al-Ahzab ayat 59: “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan, Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Maka dari itu anak-anakku sekalian, Ibu menasihati diri ibu pribadi dan mengajak anak-anakku semua, yang sudah berjilbab sesuai syari’at ‘Alhamdulillaah’, berbahagialah kalian. Yang jilbabnya belum syari’i, tolong ya Nak dirapihkan. Nah… bagi yang belum berjilbab, ayo Nak… beranilah untuk mengambil keputusan. Mulai lah berjilbab, insyaAllah selain kepada diri sendiri, pahalanya juga akan sampai kepada kedua orangtua kalian. Tadi kan sudah pada pandai membuat dan membacakan puisi tentang Ibu. Nah, ayok dah tambah lagi pahala buat Ibu dan juga Bapak kalian dengan cara berjilbab/berhijab sesuai syari’at”, kata Beliau menutup arahannya.

Dadaku terasa bergemuruh dengan hebatnya. Aku tak kuasa menahan air mataku yang mengalir deras melewati pipiku. “Astaghfirullahal azhiiiim… Astaghfirullahal azhiiiim… Astaghfirullahal azhiiiim…”, aku mengulang-ulang istighfarku. Aku malu pada diriku sendiri. Kenapa sulit sekali rasanya diri ini untuk mulai berhijab. Aku malu bila ditertawakan dan diejek teman-temanku yang telah mengenal diriku dan kepribadianku sejak lama. Dengan berjilbab, maka kesan feminim yang ditimbulkan akan sangat kontras dengan gaya tomboy yang melekat pada diriku sehari-hari. Namun, lagi-lagi, berhijab adalah sebuah kewajiban bagi perempuan yang sudah akil baligh seperti diriku. Maka mau tidak mau, aku harus mulai berhijab. “Bismillaahirrohmaanirrohiiim… asyhadu an laa ilaaha illaallaah, wa asyhadu anna Muhammadan rosuulullaah…, Ya Allah Yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkan lah hatiku untuk senantiasa taat pada perintah Mu. Ampunilah dosa dan segala kesalahanku, mudahkan lah urusanku, lindungilah aku dan jauhkan lah aku dari segala godaan setan yang terkutuk. Ya Allah Yang Maha Pengasih…, hari ini kuikrarkan pada diriku untuk melaksanaan salah satu kewajibanku untuk menutup auratku. Kuatkan diriku atas segala keraguan yang akan menggoyahkan keyakinan hatiku. Baguskan lah akhlakku, dan jauhkan lah aku dari segala fitnah di dunia dan akhirat. Aamiiiiiin”, kuakhiri do’aku dengan linangan air mata yang membasahi jilbab “baru”ku.

~ selesai ~
Written by: Ibadibadi & H.F






Tidak ada komentar:

Posting Komentar