“Selamat datang di Dunia Kampus”, bisikku
dalam hati. Hari ini adalah hari pertamaku menginjakkan kaki di kampus Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Diponegoro. Hari yang sangat
mengesankan bagiku, karena begitu banyak orang yang memimpikan dapat menyandang
predikat “Mahasiswa”, dan kini aku menjadi salah satu dari mereka, para
mahasiswa.
Namun, rasa
senangku tidak berlangsung lama. Saat tengah asyik berkenalan dengan teman
sesama mahasiswa baru, tiba-tiba ada seorang mahasiswa senior berteriak lantang
memecah keheningan, “Hitungan ke-10, semuanya harus baris rapi sepuluh ber-shaf
sesuai program studinya masing-masing!!, 1...2…3…….”.
Ya, hari ini
adalah hari pertama masa orientasi perkenalan kampus (OSPEK). Bayanganku akan
indahnya dunia kampus, sejak saat ini telah sirna dan berganti dengan rasa
kesal yang luar biasa. Aku tidak habis pikir, mengapa mereka, para senior itu,
menyuruh kami membuat topi dari bola plastik yang dibagi dua. Membuat kalung
tanda pengenal berikut “asesorisnya” berupa petai dan ikan asin. “Yaaaackkhh…”,
aku marah sekaligus jijik pada diriku dengan tampilan seperti ini. Lebih marah
lagi aku kepada para senior itu, yang seperti tidak punya otak, menyuruh kami
berbuat begini. “Apa sih untungnya buat mereka?, Dasar senior beg*!!”, protesku
dalam hati.
Lupakan kejadian
OSPEK yang sangat memalukan itu, sekarang ada lagi kegiatan yang tidak kalah
membingungkan. Nama kegiatannya “GOM (Grand Opening Mentoring)”. “Mentoring??,
apa itu mentoring?”, tanyaku dalam hati. Yang lebih membuatku kesal adalah,
kami, para mahasiswa baru yang beragama islam, DIWAJIBKAN untuk mengenakan
jilbab selama kegiatan ini. Bagi yang sehari-harinya berjilbab sih tidak jadi
soal, tapi bagiku dan teman-temanku yang tidak/belum berjilbab, tentu sangat
kesal. “Kenapa sih kok sok diwajibkan begini!!, kalau memang nda/belum
berjilbab ya jangan dipaksa berjilbab dong!!”, protesku. “Tapi ya sudah lah...,
toh cuman setengah hari dan pas acara ini saja. Nanti kalau sudah selesai tinggal
dibuka saja jilbabnya”, kataku berusaha menenangkan diriku sendiri.
Dan, akhirnya
selesai pulalah acara GOM ini. Kuakui acara ini cukup menarik, terutama
pematerinya yang sangat pandai dalam merangkai kata, seolah-olah kami telah
“terhipnotis” saking terpesonanya. Acara berikutnya adalah pembagian kelompok
mentoring. Yah, kembali lagi ke kata “Mentoring” itu. Namun, kali ini aku sudah
lebih mengerti. Itu pun karena banyak disinggung oleh Pemateri yang aku suka
gayanya tadi itu. Hahaha…
Semua peserta pun
sudah terbagi pada kelompoknya masing-masing. Tiap kelompok berjumlah antara
8-10 orang. Tiap kelompok didampingi oleh seseorang yang disebut sebagi
“Pementor”. Kulihat daftar nama yang ada dalam kelompokku, pada bagian paling
atas tertulis “Pementor: Maria Ulfa”. “Oh… jadi yang menjadi Pementorku adalah
Maria Ulfa ya?, hmm…ga kenal...!!”, kataku dalam hati.
Tak berselang
lama, panitia mengkordinasikan agar setiap peserta berkumpul sesuai kelompoknya
dan bertemu dengan para Pementornya. Aku penasaran, “Mana sih yang namanya
Maria Ulfa?”. Semua peserta tampak berhamburan mencari kelompoknya masing-masing,
begitu pula diriku. Sampai akhirnya aku bertemu dengan seluruh anggota
kelompokku dan… “Oh…, ini toh yang namanya MARIA ULFA…!”, bisikku dalam hati.
Tak terasa,
sudah hampir 5 bulan aku mengikuti aktivitas mentoring ini. Aku yang semula tak
tahu menahu soal mentoring, kini mulai merasakan manfaat dari kegiatan
mentoring ini. Sedikit demi sedikit, pemahamaan keagamaanku yang awalnya kosong
melompong, kini mulai ada sedikit isinya…hihi. Namun, daya tarik terkuat yang
membuatku nyaman berada di mentoring ini adalah karena sosok Pementorku itu.
Ya… Pementorku itu, dialah inspirasiku. Sosoknya yang anggun dalam balutan
busana muslimah sederhana namun sangat berkelas, pintar, berwawasan luas, santun
dan sangat memperhatikan/mengayomi kami, para binaannya, dengan sabar dan
telaten. Tidak jarang, dalam beberapa sesi mentoring, kami juga mendiskusikan
tentang kesulitan yang kami hadapi dalam pelajaran/kuliah disamping materi
agama yang menjadi kurikulum mentoring. Hal ini dikarenakan Pementorku itu
memang pintar, dan penjelasannya lebih mudah dimengerti daripada ketika
dijelaskan oleh Dosenku. Pokoknya Pementorku itu memang “Te.O.Pe.Be.Ge.Te.!!”
Pada suatu
kesempatan, di akhir sesi mentoring, Pementorku berkata, “Adik-adik…, pekan
depan insyaAllah dari Departemen Annisa bekerjasama dengan Departemen Mentoring
akan mengadakan 2 Perlombaan, yaitu: Lomba Kreasi Jilbab Syar’i dan Lomba
Dramatisasi Puisi Tentang Ibu. Ini dalam rangka menyemarakkan peringatan hari Jilbab
Internasional yang jatuh pada tanggal 4 September. Nah…, nanti tolong
dirembugkan ya, siapa yang akan mewakili kelompok mentoring kita untuk
mengikuti kegiatan lomba tersebut. Tolong dipersiapkan ya…. Jika Allah
mentakdirkan kita menjadi juara ya Alhamdulillah…, tapi jika belum rejekinya ya
paling tidak kita sudah berusaha untuk memeriahkan dan telah berikhtiar
semampunya. Semoga Sukses ya…!”.
Entah apa yang
dipikirkan teman-teman kelompok mentoringku ini. Antara ingin mengerjai aku
atau ingin berbuat baik kepadaku bedanya tipis sekali. Aku didaulat untuk
menjadi delegasi kelompokku dalam perlombaan Kreasi Jilbab Syar’i, padahal
sehari-hari aku tidak mengenakan jilbab kecuali saat mentoring. Itu pun karena
mentoringnya sering dilaksanakan di mushola atau masjid sesaat setelah ibadah
sholat. “Huuuuuuhh”, aku menghembus nafas pelan.
Hari pelaksanaan
lomba pun tiba. Aku dan teman-teman kelompokku telah siap mengikuti lomba, dan
hari ini aku benar-benar telah dikerjai. Aku yang sehari-hari tidak berjilbab,
kini telah di”make over” menjadi seorang muslimah berhijab. Salah seorang
temanku berujar, “Kita pasti menang deh… ini adalah model jilbab yang lagi “IN”
banget!. Artis-artis hijabers lagi kecanduan model yang seperti ini!’. Aku
melihat diriku di cermin. Teman-temanku memang cukup berhasil dalam
mendandaniku. Aku nyaris tidak mengenali diriku sendiri. Aku yang dalam
kesehariannya cenderung cuek dalam penampilan, kini berubah 180 derajat. Aku
menyukai penampilanku kali ini, namun aku malu. Ya…, aku malu pada diriku, malu
pada teman-temanku. “Apa kata mereka nanti?, apakah aku akan menjadi bahan
tertawaan mereka??”, kataku dalam hati.
Kukatakan pada
teman-temanku bahwa aku malu. Apalagi teman-temanku ini entah sengaja
mengerjaiku atau tidak, tapi 3 lapis jilbab yang mereka kreasikan untukku ini
sangat menyiksaku. Gerah..!!!. Jika mereka beralasan ini model yang lagi “IN”
dan banyak digunakan para artis, “Halloooww…. mereka kan selalu dikelilingi AC
dan blower, lha aku…???”. Sebenarnya ingin sekali kubuka jilbab yang luar biasa
gerah ini, namun teman-temanku itu terus melarangku dan membujukku untuk lebih
bersabar. “Ya sudah lah…“, kataku kesal. Kami pun berangkat menuju Mushola
Kampus tempat dilangsungkannya perlombaan.
Sesampainya di
Mushola Kampus, kulihat belum banyak orang disana. Antara senang sekaligus
ragu. Senang karena tidak banyak orang yang melihat tampilanku seperti ini,
ragu karena khawatir jangan-jangan acara
perlombaannya tidak jadi. “Lho…kenapa mesti khawatir??, bukan kah seharusnya
aku senang karena bila acaranya tidak jadi maka aku tidak perlu menanggung malu
di depan panitia dan teman-temanku!!”, kataku dalam hati.
Satu demi satu
peserta mulai berdatangan, kulihat juga beberapa pengurus/panitia dari UKK.
Albahrain mulai menata peralatan/perlengkapan lomba. “Dugg…dugg…dugg…”, suara
jantungku berdegup kencang. Kulihat peserta yang lain, kesemuanya mengenakan
pakaian dan yang sederhana namun tampil elegan. Sedangkan aku, dengan jilbab
berlapis-lapis dan dandanan make-up setebalal “1cm”, aku lebih menyerupai
“badut” dibanding peserta lain yang tampak cantik alami. Aku malu…benar-benar
malu…. Aku melihat kearah teman-teman yang telah “berjasa” mendandaniku dengan
tatapan sebal, lalu kuputuskan untuk pergi meninggalkan mushola, pulang kembali
ke kostku.
Belum sampai ke
parkiran motor kampus, aku bertemu Mbak Ulfa Pementorku.
“Mau kemana Dik…?”, dia menyapaku.
“Saya mau pulang Mbak..”, jawabku.
“Loh…kok pulang?, kan acaranya mau
dimulai…”, tanyanya.
“Iya Mbak… saya malu… saya nda PeDe
Mbak… peserta yang lain jilbabnya sederhana tapi cantik Mbak, sedangkan jilbab
saya ini terlalu berlebihan… saya mau pulang saja”, jawabku.
“Loh… kata siapa berlebihan?, ga ah….
Penampilanmu cantik kok… cantik sekali malah… Sayang sekali, masa sudah
cantik-cantik begini tidak jadi ikut lomba… Kalau Mbak yang jadi jurinya, kamu
pasti Mbak pilih menjadi juaranya”, kata Mbak Ulfa mencoba menghiburku.
“Tapi Mbak…”, belum sempat aku
menyelesaikan kalimatku, Pementorku itu langsung menimpali, “Pokoknya kamu nda
boleh pulang, kamu harus ikut lomba… nda ada yang akan mengejek/menertawakanmu.
Kalau ada yang menertawakanmu bilang sama Mbak, nanti Mbak jewer dia!!”.
Aku pun
mengurungkan niatku untuk pulang. Mbak Ulfa menggandeng erat tanganku memasuki
musholla. Tampak kini musholla itu semakin ramai dipenuhi para peserta yang
tampak antusias mengikuti lomba.
Akhirnya lomba
yang dinanti pun dimulai. Sebelumnya, panitia membacakan peraturan lomba. Peserta
lomba kreasi jilbab terdiri dari 3 orang untuk setiap timnya. 2 orang menjadi
kreator jilbab syar’i sedangkan seorang lagi menjadi objeknya. Waktu yang
diberikan hanya 5 menit. “Apa??...hanya 5 menit!!!” sontak para peserta
berteriak histeris.
“Lomba dimulai dalam hitungan
ketiga, 3….2….1……MULAIII..!!!”, teriak ketua panitia memulai perlombaan.
Mushola sempit
itu kini tak ubahnya bak pasar paling ramai se-antero jagad. Baik peserta
maupun panitia tak kuasa menahan tawa melihat keseruan para peserta dalam
mengkreasikan jilbab kepada temannya yang menjadi objek kreasi mereka. Ada yang
memang terampil dan cekatan dalam membentuk lipatan-lipatan jilbab nan indah,
namun tidak sedikit pula yang tampak masih kebingungan mencari-cari model yang
sesuai dengan selera dan keinginan mereka. Bahkan ada beberapa tim yang
mengkombinasikan beberapa model jilbab, pun dengan jumlah jilbab yang
berlapis-lapis sehingga temannya yang menjadi objek tampak kepanasan atau
bahkan ada yang sampai “tercekik” sulit bernafas karena jilbab yang terlalu
ketat.
5 menit waktu
yang diberikan pun telah usai. Kini saatnya penilaian lomba. Kriteria penilaian
meliputi aspek: kekompakan tim, keindahan, dan syar’i. Sembari menunggu
penilaian para juri, acara pun dilanjutkan dengan lomba dramatisasi puisi
tentang Ibu. Berkebalikan dengan suasana saat lomba kreasi jilbab, kali ini
mushola itu “disulap” bak dibayangi awan mendung penuh kesunyian dan kesedihan.
Ya…sebagian besar yang hadir saat itu tak kuasa membendung tangisan air mata haru
kala para peserta, satu demi satu, membacakan puisi tentang Ibu yang sungguh
amat menyentuh. Ada yang menangis karena teringat jasa Ibu mereka yang tak kan
pernah terbalas, ada yang menangis karena sudah lama tak pulang berjumpa dengan
Ibundanya yang berada nan jauh di luar pulau sana, adapula yang menangis karena
terharu melihat teman-temannya yang lain menangis…hihihi. Lomba dramatisasi
puisi Ibu ini pun ditutup dengan penampilan seorang peserta yang menyanyikan
lagu “Ummi” yang dipopulerkan oleh Sulis di akhir puisinya. “Wow… benar-benar
sebuah penampilan yang epik”, kataku dalam hati.
Yang
ditunggu-tunggu pun tiba, saatnya pengumuman pemenang lomba. Deg-degan??, tentu
tidak, karena aku sangat yakin tidak
akan menjadi juara…hahaha. Aku hanya penasaran, “Siapa ya yang akan terpilih
sebagai juara pilihan para juri?” tanyaku dalam hati.
“Juara ketiga
lomba kreasi jilbab dengan total nilai 24, adalah ukhtuna (baca: saudari kita)
Anna Muthmainnah dari program studi Budidaya Perairan”, ketua dewan juri
membacakan hasil penilaiannya. Semua mata yang hadir sontak langsung tertuju
kepada Anna, sang Jawara ketiga. Aku pun terkagum pada Anna yang tampak
terlihat sangat anggun dalam balutan jilbab syar’i nya yang sederhana namun
tampak elegan. “Selamat ya Anna”, kataku setengah berbisik.
“Juara kedua,
dengan total nilai 27, jatuh kepada ukhtuna Bilqis Biblina Syifa dari program
studi Ilmu Kelautan”. Kali ini semua mata tertuju kepadaku. “Eh…, Apaaaaaaa???,
Astaghfirullah….juara kedunya aku..???”, tanyaku tidak percaya. “Kok bisa???,
apa tidak salah??”, lanjutku.
Teman-teman
kelompok mentoringku bersorak kegirangan. Teman-teman lainnya yang berada di
sebelahku sontak langsung menyalamiku, dan memberi ucapan selamat kepadaku.
Kulihat di kejauhan, sosok Pementor idamanku tampak mengacungkan kedua ibu jari
tangannya diiringi sebuah simpul senyuman manis khasnya. Sedangkan aku,
tatapanku menjadi kosong melompong. Aku masih dalam efek kaget karena menjadi
juara 2. Begitu kosongnya pikiranku, sampai-sampai aku tidak mendengar siapa
yang akhirnya terpilih menjadi Sang Juara Pertama. Begitu pula dengan
pengumuman para pemenang lomba dramatisasi puisi, aku sama sekali tidak
mendengarkannya. “Haduuuuh….”, keluhku dalam hati.
Sebelum
penutupan lomba, diadakan pengarahan dari ketua dewan juri yang juga merupakan
salah seorang staff dosen di fakultas perikanan dan ilmu kelautan mengenai
esensi berhijab. Beliau mengutip sebuah firman Allah SWT dalam surat An-nur
(24) ayat 31, “Dan katakanlah kepada
wanita-wanita yang beriman: ’Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara
kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa
nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan khumur ke dadanya”.
Beliau
melanjutkan, “Anak-anakku…khumur
adalah bentuk jamak dari khimar yang
berarti kain penutup kepala, atau dalam bahasa kita disebut jilbab. Ini
menunjukkan bahwa kepala dan dada juga termasuk aurat yang harus ditutup.
Berarti tidak cukup hanya dengan menutupkan jilbab pada kepala saja dan
ujungnya diikatkan ke belakang. Tapi ujung jilbab tersebut harus dibiarkan
terjuntai menutupi dada. Itulah cara yang benar (syar’i) dalam menggunakan jilbab”.
Beliau kemudian
menceritakan tentang pengalaman beliau saat menempuh studi di salah satu
perguruan tinggi di Eropa yang notabene negara non muslim. Beliau mengatakan,
tidak mudah untuk menggunakan jilbab syar’i di negara tersebut, bahkan ada
segolongan masyarakat yang telah termakan stigma negatif tentang jilbab syar’i
yang diidentikkan dengan pelaku terorisme, na’udzu
billahi min dzaalik. Namun, apapun hambatan yang kita hadapi dalam
berjilbab, selama itu tidak sampai mempertaruhkan nyawa (baca: dalam kondisi
darurat), perintah agama tetaplah harus lebih diutamakan.
“Anak-anakku,
ada sebuah fenomena menarik yang terjadi ketika Ibu tinggal di sebuah kawasan pemukiman
di negara tersebut. Sungguh beruntung lah para peremuan yang menggunakan hijab,
karena disana perempuan yang tidak berjilbab bila berjalan melewati daerah
tersebut sering diganggu. Entah dengan siulan, didekati secara tidak sopan,
atau yang lainnya. Sedangkan bila seorang wanita berhijab yang melewati mereka,
ajaibnya orang-orang itu tidak ada yang mengganggu. Mungkin itu karena mereka
mengira bahwa kita dekat dengan Tuhan (baca: Allah SWT) sehingga mereka tidak
berani macam-macam….hahaha”. Beliau melanjutkan, “Maka Maha Benar Allah SWT
dengan segala firmannya, sebagaimana dalam surat Al-Ahzab ayat 59: “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu,
anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan, Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Maka dari itu anak-anakku sekalian,
Ibu menasihati diri ibu pribadi dan mengajak anak-anakku semua, yang sudah
berjilbab sesuai syari’at ‘Alhamdulillaah’, berbahagialah kalian. Yang
jilbabnya belum syari’i, tolong ya Nak dirapihkan. Nah… bagi yang belum
berjilbab, ayo Nak… beranilah untuk mengambil keputusan. Mulai lah berjilbab,
insyaAllah selain kepada diri sendiri, pahalanya juga akan sampai kepada kedua
orangtua kalian. Tadi kan sudah pada pandai membuat dan membacakan puisi
tentang Ibu. Nah, ayok dah tambah lagi pahala buat Ibu dan juga Bapak kalian
dengan cara berjilbab/berhijab sesuai syari’at”, kata Beliau menutup arahannya.
Dadaku terasa
bergemuruh dengan hebatnya. Aku tak kuasa menahan air mataku yang mengalir
deras melewati pipiku. “Astaghfirullahal azhiiiim… Astaghfirullahal azhiiiim… Astaghfirullahal
azhiiiim…”, aku mengulang-ulang istighfarku. Aku malu pada diriku sendiri. Kenapa
sulit sekali rasanya diri ini untuk mulai berhijab. Aku malu bila ditertawakan
dan diejek teman-temanku yang telah mengenal diriku dan kepribadianku sejak
lama. Dengan berjilbab, maka kesan feminim yang ditimbulkan akan sangat kontras
dengan gaya tomboy yang melekat pada diriku sehari-hari. Namun, lagi-lagi,
berhijab adalah sebuah kewajiban bagi perempuan yang sudah akil baligh seperti
diriku. Maka mau tidak mau, aku harus mulai berhijab. “Bismillaahirrohmaanirrohiiim… asyhadu an laa ilaaha illaallaah, wa
asyhadu anna Muhammadan rosuulullaah…, Ya
Allah Yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkan lah hatiku untuk senantiasa
taat pada perintah Mu. Ampunilah dosa dan segala kesalahanku, mudahkan lah
urusanku, lindungilah aku dan jauhkan lah aku dari segala godaan setan yang
terkutuk. Ya Allah Yang Maha Pengasih…, hari ini kuikrarkan pada diriku untuk
melaksanaan salah satu kewajibanku untuk menutup auratku. Kuatkan diriku atas
segala keraguan yang akan menggoyahkan keyakinan hatiku. Baguskan lah akhlakku,
dan jauhkan lah aku dari segala fitnah di dunia dan akhirat. Aamiiiiiin”,
kuakhiri do’aku dengan linangan air mata yang membasahi jilbab “baru”ku.
~
selesai
~
Written by: Ibadibadi & H.F
Tidak ada komentar:
Posting Komentar