Rabu, 20 Januari 2016

:::: Selalu Ada Konsekuensi Untuk Setiap Keterlambatan ::::


      Sore nanti aku akan melaksanakan ujian akhir yang akan menentukan kelulusanku di sebuah perguruan tinggi kejuruan swasta. Ujian akhir dilakukan 1 kali dalam setahun, sehingga apabila tidak lulus maka akan mengulang di tahun berikutnya. Untuk itu, aku telah mempersiapkan semuanya; pakaian, perlengkapan, dan tentunya materi2 yang akan diujikan telah kukuasai semuanya. “Aku ingin hasil yang terbaik dalam ujian ini”, bisikku dalam hati. Untuk mengurangi kegugupan dan rasa khawatirku, kuputar saja MP3 Murottal Alquran dari komputerku, kadang kuselipkan do’a2 supaya Allah memberikanku ketenagan.

      Waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB. Masih ada 1,5 jam dari waktu pelaksanaan ujian. Tapi aku harus berangkat saat ini juga. Aku tidak ingin terlambat sedikit saja, yang dapat menghambatku dalam mengerjakan ujian.

Benar saja, hujan tiba-tiba turun rintik demi rintik namun cukup membasahi siapapun yang berkendara di bawahnya. Kutepikan motorku, lalu segera kukenakan mantelku sambil berbisik kecil “Untung saja aku berangkat lebih awal, jadi aku tidak perlu tergesa-gesa di tengah terpaan hujan ini, Alhamdulillaah…”. Lalu kulanjutkan perjalananku menuju kampusku.

     Jalanan tampak sepi, karena sebagian orang memilih untuk berteduh menunggu hujan reda. Namun aku tak mau mengambil resiko, karena biasanya hujan tipe begini akan berlangsung cukup lama. Toh, aku sudah menggunakan mantel yang menutupi semua, kecuali sepatu pantofel yang itupun cukup dilap saja.

        “BRAAAAAAAAAKKKKKKK………”, terdengar suara keras tidak jauh dari arah depanku.

       “Astaghfirullahal azhiiiim……Inna lillaahi wa inna ilaihi rooji’uuuun…”, kulihat sebuah mobil melesat kencang setelah menabrak seorang pengendara motor. “Kurang Ajar…!”, bentakku dalam hati. “Ini adalah sebuah Tabrak lari!!!.

       Segera kudekati pengendara motor yang terkapar di jalanan itu. Kutepikan motorku, lalu segera kuberlari menghampirinya. “Inna lillaah…”, kulihat darah segar keluar dari beberapa bagian tubuhnya, terutama pada daerah sekitar kepala.

      Aku bingung, harus berbuat apa. Jalanan sangat sepi, tidak ada orang/kendaraan lain yang melintas, hanya kami berdua. “118…, Nomor telepon Ambulance…!!!”, aku teringat sambil setengah berteriak. Segera kuketik nomor telepon 118, Alhamdulillah tersambung. Cukup lama aku menunggu, namun tidak ada yang mengangkat teleponnya. Kucoba menelpon lagi, namun lagi-lagi tidak ada yang mengangkat.
 
Kemudian aku teringat, “110…..Nomor telepon Polisi….!”
Kucoba menghubungi nomor tersebut, namun parahnya nomor itu tidak bisa dihubungi. “Siaaalll…”, kataku dalam hati. Sejak kecil aku diajari untuk menghubungi nomor2 itu bila menghadapi kondisi darurat, namun kali ini, saat aku benar2 memerlukannya ternyata nomor2 itu tidak ada yang bisa dihubungi. “Siaall!!”, bentakku.

     Kulihat jam tanganku, “Oh Tidaaakk…”, hanya tersisa waktu 30 menit sebelum ujian akhirku akan dimulai. Padahal jarakku sekarang dengan kampusku kurang lebih 20 menit perjalanan bila ditempuh secara normal, tidak dalam kondisi hujan seperti sekarang ini. Aku menjadi kalap, marah pada diriku, marah pada kenyataan yang kini sedang kuhadapi. “Kenapa semua ini terjadi padaku?... Kenapa ini terjadi pada saat yang bersamaan dengan waktu ujian akhir yang sangat penting bagiku??... Kenapa??”.

     “Astaghfirullahal azhiiim…”, aku segera menyadari kesalahanku. Segera kuraih handphone-ku, lalu kutelpon sahabatku yang juga akan mengikuti ujian nanti, “Halo, Assalamu’alaikum… Fahri, kamu sudah sampai di kampus?”. Lalu kuceritakan padanya apa yang sedang terjadi padaku. Kukatakan padanya untuk memberitahu pihak pengawas ujian bahwa aku “kemungkinan” akan terlambat hadir mengikuti ujian karena sedang mendapat musibah. Fahri pun menyanggupinya. Sebenarnya ia ingin menyusulku kesini, namun segera kularang karena ia pun harus mengikuti ujian tersebut. Aku hanya mengharapkan doanya, sambil bila ia punya kenalan di daerah sekitar TKP ini, alangkah baiknya jika dihubungi untuk mengirim bantuan.

     Tak lama berselang, tampak sebuah mobil hendak melintas. Segera kulambaikan tanganku, berusaha menghentikan kendaraan itu. Alhamdulillah mobil itu pun berhenti. Kulihat dari jendela mobil, ada sekitar 5 orang pemuda berpakaian setelan batik, duduk rapi di mobil itu. Sebagian keluar menghampiriku, sebagiannya lagi tampak tengah beranjak dari duduknya sambil melihat dari balik kaca. Kutanyakan pada mereka apakah berkenan untuk mengantarkan korban ke rumah sakit. Awalnya mereka tampak ragu, karena mobil yang mereka tumpangi adalah mobil sewaan. Tentunya mereka khawatir bila mobil itu terkena noda darah yang konon, “katanya”, sulit untuk dibersihkan. Namun, seseorang yang tampak lebih tua di antara mereka berhasil meyakinkan teman-temannya, dan korban pun dimasukkan ke dalam mobil. “Alhamdulillaah”, bisikku dalam hati.

Kukatakan pada mereka, bahwa aku harus mengerjakan ujian kelulusanku. Aku mohon ijin untuk menuju kampusku, dan kuberikan KTP asli ku sebagai jaminan bahwa aku bukannya ingin lari dari “tanggungjawab” ku, tapi memang karena aku harus menghadapi ujian itu.

      Apa mau dikata, mereka menolak. Meskipun mereka yakin bukan aku yang menabraknya, tapi mereka juga tidak mau mengambil resiko, karena akulah yang menjadi saksi dalam kecelakaan tersebut. Sudah menjadi rahasia umum di negeri ini, bilamana saksi yang niatnya berbaik hati malah dijadikan tersangka karena kurangnya bukti. Oh…Alangkah lucunya negeri ini…..!.

        Kuturuti permintaan mereka, sambil kuminta 2 orang dari mereka untuk mengamankan motorku dan motor si korban. Lalu kami segera bergegas ke Rumah Sakit. Dalam hati kuberdo’a, “Ya Allah, berikanlah aku ketabahan. Dan lunakkanlah hati para pengawas ujian, semoga mereka menerima alasan keterlambatanku dan memberikan aku tambahan waktu. Aamiiiin”

       Sesampainya di Rumah Sakit, kami langsung bergegas memberitahu pihak UGD untuk memberikan pertolongan dan perawatan intensif kepada korban. Setelah mengurus proses administrasi beserta berita acara kronologi kejadian kecelakaan (dilengkapi identitas dan nomor teleponku sebagai saksi), kami pun sholat ashar bersama lalu saling berpamitan. Aku sangat berterimakasih kepada mereka karena telah bersedia membantu, dan telah membawakan sepeda motorku ke Rumah Sakit. Mereka pun mendoakanku semoga dimudahkan dalam ujian akhirku. Kami pun berpisah.


 Image result for terlambat

        
Segera kupacu sepeda motorku, dan akhirnya aku pun tiba di kampus. Kulihat jam tanganku, “Inna lillah…. waktu ujian hanya tersisa 15 menit dari 120 menit waktu yang diberikan. Segera kuberlari menyusuri tangga menuju ruang ujian. Kuketuk pintu dan aku memohon ijin kepada kepala pengawas untuk mengikuti ujian. Ia pun mengizinkanku dan memberikanku lembaran soal ujian. “Bismillaahirrohmanirrohiim…”, kataku memulai mengerjakan ujian.

         “Oke anak2… waktu sudah habis, segera tinggalkan lembar jawaban di kursi masing2. Periksa kembali nama dan nomor induk masing2”, teriak kepala pengawas ujian memecah keheningan seisi ruangan kelas.

      Semua orang tampak mulai meninggalkan kelas. Hanya aku yang masih fokus melanjutkan pengerjaan ujianku. Aku yakin, kepala pengawas akan memberikanku toleransi waktu karena keterlambatanku, toh Fahri pun telah memberitahu kepala pengawas mengenai alasan keterlambatanku.

Kepala pengawas dan pengawas2 lainnya mulai mengumpulkan lembar2 jawaban yang ditinggalkan para peserta ujian di kursinya. Sampai akhirnya tinggal aku sendiri yang belum menyerahkan hasil ujianku. Tiba2 kepala pengawas berkata, “Hai Nak, kamu tidak mau mengumpulkan hasil ujianmu?”. “Iya Pak, saya masih belum menyelesaikan soal-soal ini”, jawabku.

“Jadi kamu tidak mau mengumpulkannya ya?, kalau begitu lembar jawabanmu tidak akan dinilai”, ujarnya setengah membentak.
“Tapi Pak…, protesku sambil berlari mengejar kepala pengawas ujian yang tampak beranjak meninggalkan ruangan.
“Pak…. tunggu Pak… apakah saya tidak mendapat toleransi waktu?”, tanyaku.
“Tidak”, jawabnya.
“Tapi mengapa Pak?, bukan kah Fahri sudah memberitahu Bapak tentang alasan keterlambatan saya?”, tanyaku memprotes.
“Iya, dia sudah mengatakannya”, jawabnya lugas.
“Lantas, mengapa bapak tidak memberikan tambahan waktu kepada saya?”, protesku.

Kepala pengawas lalu memegang kedua pundakku seraya berkata:
“Nak…., SELALU ADA KONSEKUENSI UNTUK SETIAP KETERLAMBATAN. Meskipun kamu yakin dan berusaha meyakinkan kami bahwa ada sebuah alasan besar yang mengakibatkan keterlambatanmu, namun keterlambatan adalah sebuah kesalahan. Dan kamu tidak punya pilihan lain, selain menerima konsekuensinya”.

“Jika kamu mampu berjiwa besar, karena telah berupaya menolong orang dengan keikhlasanmu, lantas mengapa kali ini kamu tidak menunjukkan KEBESARAN JIWAMU dengan menerima konsekuensi/akibat dari keterlambatanmu”.

       “Satu pesanku padamu Nak…, jangan pernah menyesal karena telah berbuat baik, meskipun kesudahannya tidak mengenakkan bagimu. Tapi yakin lah, bahwa Tuhanmu Maha Melihat, dan ia tidak akan menyia2kan kebaikan hamba Nya. Bersabar lah Nak, kamu adalah anak yang baik”.

        Tak terasa, air mata mulai mengalir melewati kelompak mataku. Antara setengah tidak percaya dengan jawaban yang baru saja kudengar dan karena kesedihanku akibat aku tidak bisa menyelesaikan ujian yang telah sangat kupersiapkan dengan matang. “Astaghfirullahal azhiiim….Inna lillaahi wa inna ilahi rooji’uuuun”, lirihku.

        Aku segera teringat perkataan Nabi Ya’qub a.s tatkala mendengar berita kematian anak kesayangannya Yusuf a.s,
“MAKA KESABARAN YANG BAIK ITULAH (KESABARANKU). Dan Allah sajalah yang dimohonkan pertolongan Nya terhadap apa yang kamu ceritakan” (Q.S. Yusuf: 18).

Perkataan yang serupa juga diungkapkan Nabi Ya’qub tatkala mendengar kabar bahwa anaknya Bunyamin (saudara kandung nabi Yusuf a.s) ditahan oleh Penguasa Mesir karena “mencuri” sebuah Piala Raja.

       “MAKA KESABARAN YANG BAIK ITULAH (KESABARANKU). Mudah2an Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku, sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Q.S. Yusuf: 83)

      Segera kutengadahkan kedua tanganku ke langit, sambil berdo’a, “Robbana afrigh alainaa shobron, wa tsabbit aqdaamanaa wanshurnaa alal qoumil kaafiriiin (Ya Tuhan kami, karuniakan lah kepada kami kesabaran, dan kokohkan kaki (pijakan) kami, dan selamatkan lah kami dari orang2 kafir. Aamiiiiin”.


                                                                               Mataram, 5 Jan 2016 (18:39 WITA)
                                                                                                                    Selesai.

     Cerita ini hanya fiktif belaka, adanya kesamaan tokoh atau jalan cerita hanyalah kebetulan semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar