Minggu, 24 Januari 2016



Karena Waktuku Begitu Berharga…

Image result for waktu berharga

Waktu itu sekitar Desember tahun 2004. Bagi kami anggota/pengurus Rohis Albahrain, tentunya ada sebuah tahapan untuk meng- up grade diri sesuai dengan jalur kaderisasi Kerohisan. Maka dari itu, Rohis Universitas Diponegoro (kini bernama INSANI) mengadakan “Training Rohis 2” atau biasa disebut TR 2. Masing-masing fakultas diminta mengirimkan delegasinya, dan dari Albahrain terpilihlah 3 orang mahasiswi (akhwat), yang kesemuanya berasal dari program studi oseanografi termasuk aku. Segera lah kami mempersiapkan segala kebutuhan (perlengkapan) yang diperlukan unutk kegiatan yang berdurasi 1 minggu itu, dan tak lupa membawa persyaratan yang diwajibakan yaitu membuat sebuah makalah. Semuanya kami lakukan dengan cepat di tengah-tengah padatnya jadwal kuliah dan aktivitas keseharian kami, karena waktu persiapan kami hanya tinggal esok saja, hari Jumat.

Hari Jumat pun tiba, hari raya bagi umat muslim setiap minggunya. Aku telah selesai mengemasi barang-barang keperluanku untuk acara itu. Tak disangka, ternyata hari itu Bapakku datang. Tidak pernah ada pemberitahuan sebelumnya kalau beliau akan datang mengunjungiku hari itu, karena handphone keluarga kami satu-satunhya ditinggal di rumah kami yang jauh di luar pulau sana. Waktu itu handphone masih termasuk barang langka, belum menjamur seperti sekarang, sehingga begitu kagetnya diriku menerima kedatangan Bapakku yang sangat tiba-tiba itu. 

Ternyata hari itu Bapakku mampir setelah sebelumnya mengikuti Muktamar Nasional salah satu organisasi islam terbesar Indonesia di Boyolali selama beberapa hari. Melihat di kostku tidak ada “hidangan penyambut” kedatangan Bapakku, maka segera kupergi ke warung makan untuk membeli teh hangat dan soto ayam sebagai sarapan untuk beliau. Sambil menatap kembali penampilanku dan mengecek kembali barang-barangku, aku bercerita bahwa hari itu akan ada agenda organisasi kampus sehingga jam 1 siang nanti aku sudah harus tiba dan berkumpul di GSG (Gedung Serba Guna), “TIDAK BOLEH TELAT..!!”, begitu pesan panitia. Bapakku pun mengerti dan menasehatiku bahwa aku boleh saja aktif di organisasi atau ikut kegiatan apapun di kampus, selama itu bermanfaat dan tidak membawa kepada pergaulan yang salah. Setelah itu beliau pun beristirahat untuk menyiapkan tenaga, karena siang nanti beliau berencana berangkat ke Majenang, Kabupaten Cilacap, untuk mengunjungi Nenek. Sebenarnya beliau berencana berangkat pada sore hari, namun setelah mengetahui bahwa anaknya ada kegiatan di organisasi kampusnya sehingga rencana keberangkatannya pun dimajukan menjadi siang hari. Segera kukabarkan pada adikku bahwa Bapak sedang mampir ke Semarang, dan kuminta dia untuk segera menuju kostku.

***

            “ALLAHU AKBAR…..ALLAAAHU AKBAR…!!!”, suara adzan pertanda masuknya waktu bagi seluruh laki-laki yang beragama islam untuk menunaikan ibadah Jumat mulai berkumandang. Bapak dan adikku tengah bersiap untuk melaksanakan ibadah Jumat, sedangkan aku pergi menuju warung makan itu lagi untuk membeli makanan santap siang untuk kami bertiga. 

Seusai ibadah jumat, kami pun menyantap makanan yang telah kubeli di warung tadi. Tak berselang lama, kami pun telah siap dengan barang bawaan masing-masing. Aku dengan barang-barangku untuk mengikuti kegiatan TR 2, sedangkan Bapakku telah siap dengan barang bawaannya berikut bekal perjalanan menuju rumah Nenek di Majenang. Kuminta adikku mengantarkan Bapak sampai di terminal atau tempat yang biasa dilewati Bus tujuan Purwokerto, Jawa Tengah. Sebenarnya aku sangat berat hati berpisah dengan Bapak, karena kami baru sebentar saja bertemu. Tidak seperti teman-teman yang berasal dari Jawa yang bisa bebas bertemu keluarga mereka kapan saja, bagiku pertemuan dengan keluargaku (Bapakku) adalah sebuah peristiwa yang sangat jarang sekali terjadi. Ingin sekali aku ikut mengantar beliau ke terminal, namun apa daya, panitia acara telah berpesan bahwa kami harus datang tepat waktu dan tidak boleh telat. Aku pun berpamitan dengan Bapakku, kucium tangan dan pipinya, kuucapkan salam perpisahan dan lambaian tangan. “Selamat jalan Bapak…!!”, bisikku dalam hati. Kulihat Bapakku menatapku lekat.

Setibanya di GSG aku pun segera bergabung dengan teman-teman dari Fakultas lain sembari mencari teman-teman sekelasku yang merupakan delegasi dari Albahrain, namun ternyata mereka belum datang. Hatiku cemas, dalam hati aku berharap, “Semoga Bapak segera mendapatkan busnya dan selamat sampai tujuan, Aamiiiin…”.
Akhirnya salah seorang teman sekelasku tiba. Kami pun saling bicara sambil menunggu pengumuman keberangkatan dari panitia. Satu jam berlalu, namun belum ada juga pengumuman dari panitia. Aku mulai gelisah, kucoba untuk terus menuggu dengan sabar sambil berusaha menghilangkan kegelisahanku dengan mengobrol bersama teman-teman lainnya.

Waktu menunjukkan pukul 14.00 WIB, dan kami masih menunggu. Aku mulai kesal dan merasa dongkol karena tidak ada informasi apapun dari panitia. Satu jam kemudian, pukul 15.00 WIB, namun belum juga ada juga kejelasan dari panitia mengenai waktu keberangkatan peserta menuju lokasi acara. Aku makin kesal dan semakin menjadi tidak sabaran.

“ALLAHU AKBAR….ALLAAAAHU AKBAR….!!!”, adzan ashar pun berkumandang, meredam sejenak rasa kesalku yang kian memuncak. Panitia meminta kami shalat di Masjid yang tak jauh dari lokasi berkumpul kami saat itu, dan selepas sholat ashar akhirnya kami pun berangkat. “Alhamdulillaah, akhirnya kami berangkat juga..”, kataku dalam hati.

Sepanjang perjalanan aku amat menyesali kebijakan panitia yang menetapkan jadwal keberangkatan pukul 13.00 WIB, namun ternyata tidak ditepati. Bagiku, itu sudah masuk kategori mendzalimi orang lain karena membuat peserta harus menunggu 3 jam lamanya. Aku sangat menyesal, seandainya aku tahu bahwa waktu keberangkatan yang sebenarnya adalah selepas sholat ashar, maka mestinya aku bisa membersamai Bapakku lebih lama bahkan bisa mengantar beliau sampai ke terminal. Seandainya, bila memang panitia sedari awal sudah merencanakan waktu keberagkatan selepas sholat ashar, bukankah panitia dapat menulis dalam surat undangannya bahwa “PESERTA HARUS TIBA ONTIME, DAN SHOLAT ASHAR BERJAMA’AH DI MASJID DEKAT GSG…!!??”. Jika panitia beralasan bahwa bila dalam undangan ditulis “Waktu keberangkatan setelah sholat ashar” maka dikhawatirkan para peserta akan datang terlambat, sehingga nantinya akan menghambat proses keberangkatan, dan tentunya akan mengacaukan seluruh rangkaian kegiatan yang sudah ditetapkan sesuai “schedule-nya”. Maka itu sama saja artinya bahwa para panitia itu seolah-olah berkata, “KAMI TIDAK PERCAYA KALIAN (PARA PESERTA) AKAN DATANG TEPAT WAKTU (ONTIME), MAKA KAMI TETAPKAN WAKTU YANG LEBIH AWAL SUPAYA KALIAN TEPAT WAKTU..!!!”. Namun apakah mereka, para panitia itu, sadar bahwa “kekhawatiran” mereka itu ternyata telah merugikan kami dan telah meninggalkan kesan negatif pada kami bahkan sebelum acara yang “sebenarnya” dimulai. Pun, pesan “ONTIME” yang ingin “ditegaskan” oleh panitia untuk kami para peserta, telah menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Sejatinya para panitia harus lebih bijak dalam menetapkan suatu urusan, terutama mengenai masalah waktu. Jika memang panitia tidak menghendaki keterlambatan peserta, maka seharusnya bisa disiasati dengan berbagai cara. Karena kita tidak pernah tahu tiap hajat atau urusan yang dimiliki oleh setiap orang. 

“Kesan pertama amat menentukan”, begitu kalimat yang sering disampaikan orang bijak. Ya, kesan pertama saat bertemu/berkenalan dengan seseorang atau sebuah komunitas akan sangat menentukan jalinan/hubungan yang akan terbentuk setelahnya, antara berlanjut atau tidak. Dan kali itu, setelah mengalami kejadian yang mengesalkan itu, aku beranggapan bahwa panitia telah GAGAL memberikan kesan yang baik bagi para peserta. Semestinya panitia harus lebih komunikatif kepada peserta, dan tidak seolah-olah “menelantarkan” para peserta tanpa kejelasan seperti tadi. Kesan yang baik mestilah dibangun sejak awal sehingga para peserta akan selalu antusias dalam mengikuti seluruh rangkaian kegiatan, dari awal hingga akhir penutupan. 

Dan benar saja, setelah menempuh perjalanan yang cukup “menjemukan”, disambung dengan acara pembukaan dan rentetan kegiatan yang berlangsung setelahnya, aku sudah tidak menunjukkan minatku pada acara itu. Bahkan, sesi muhasabah yang menjadi puncak dari acaranya pun tidak dapat mengubah mood-ku yang sudah terlanjur buruk/jelek. Sehingga, ketika seusai acara ada salah seorang seniorku di Albahrain yang bertanya padaku tentang acara itu, dengan enteng saja kujawab “Tidak menarik”.

Sungguh amat disayangkan. acara TR 2 yang dirancang untuk meng-up grade tsaqofah/wawasan keislaman dan tata kelola (manajerial) dakwah kampus menjadi kurang bermakna dan tidak mencapai output yang diharapkan. Aku sama sekali tidak menyesal telah mengikuti kegiatan itu. Namun yang kusesali adalah, kenapa jadwal berangkat acara tidak dikomunikasikan dengan baik sehingga aku telah kehilangan waktu “emas”ku untuk membersamai Bapakku selama 3 jam lamanya. Terkesan melankolis memang, namun kurasa aku memang berhak atas waktuku yang sangat berharga itu. Mengapa?, karena itulah saat terakhirku bertemu Bapakku sebelum akhirnya beliau dipanggil Yang Maha Kuasa, Allah SWT. “Inna lillaahi wa inna ilahi rooji’uuuun”.

Kawan, ceritaku tadi mungkin hanya sebuah contoh seringkalinya kita mengabaikan pentingnya masalah waktu. Pada sebuah kesempatan, aku pernah bertanya kepada kepada salah seorang akhwat mengenai kondisi departemen/bidangnya di Rohis Albahrain. Ia mengeluhkan adanya salah seorang pengurus akhwat yang tidak mau hadir lagi dalam musyawarah (syuro) padahal dia dulunya merupakan pengurus yang aktif dan selalu hadir tepat waktu (ontime).

Trus, memangnya kenapa dia ndak mau datang lagi?”, tanyaku
“Sepertinya sih Mbak, itu karena musyawarah/syuronya selalu molor dari waktu yang telah disepakati. Kadang, dia menunggu sampai lama sekali baru teman-teman pengurus lainnya datang, termasuk kakak-kakak pengurus senior”, jawabnya

Wah, keterlaluan sekali ya…, itu kan sama artinya menzhalimi orang lain, sahutku
“Iya Mbak, memang budaya untuk hadir tepat waktu seringkali masih disepelekan. Padahal, itu bisa menjadi parameter seberapa niat dan ghirah (semangat) kita utuk membangun umat”, ujarnya.
Huuh, bagaimana mau membangun umat?, memperbaiki diri sendiri aja belum optimal”, kataku menimpali.
 Iya Mbak, aku setuju sekali. Padahal ya Mbak, akhwat itu dulunya sangat bersemangat sekali di awal kepengurusan. Namun setelah berulang kali syuro tidak tepat waktu, dia merasa bahwa organisasi Rohis ini tidak profesional jika dibanding dengan unit kegiatan mahasiswa (UKM) lain. Akhirnya dia mengundurkan diri, dan berencana mendaftar di UKM yang lain. Padahal dulu ketika dia mendaftar masuk menjadi pengurus Rohis, motivasinya adalah ingin menjadikan pribadinya lebih baik dari sebelumnya”.

Hmm…, coba kamu dekati dia lagi ya, berikan dia motivasi…!. Sungguh sangat disayangkan jika kita kehilangan satu saja pasukan dalam barisan dakwah ini”, aku mencoba menasehati.

Seorang Ustadzah, pernah berkata bahwa:Janganlah kalian menganggap enteng perkara telat waktu, walau kalian dianggap seorang aktivis. Baik itu di dalam ataupun di luar kampus, bahkan aktivis dakwah sekalipun!. Karena waktu yang dihabiskan teman-temanmu tatkala menunggumu saat rapat atau syuro, semuanya akan dihitung dan dipertanggungjawabkan!. Waktu yang kamu habiskan saat semua teman-temanmu menanti karena keterlambatanmu, itu semua akan terhitung sebagai waktumu menzholimi mereka. Mampukah kamu mengembalikan waktu mereka?. Ingatlah!, jangan sampai karena perbuatan menzholimi itu mengakibatkan waktu dalam hidupmu menjadi tidak berkah, na’udzubillah min dzalik!”, sambungku.

***

Kawan, setiap kita pasti pernah terlambat. Namun, tidak ada kata terlambat untuk belajar memperbaiki manajemen diri. Marilah berusaha untuk tepat waktu, tepat janji, dan tepat menjalankan amanah. Sebagai penutup, izinkan kukutip sebuah nasehat dari A. Fuadi (Penulis Novel Best Seller “Negeri 5 Menara”) berikut ini: “Sesuatu yang paling setia dalam hidup ini mungkin adalah waktu. Dia tidak pernah ingkar janji dan akan selalu hadir berkunjung kemana pun dan kepada siapa pun, walau topan badai sedang mengamuk. Dia datang dalam bentuk tanggal, dalam bentuk hari, dalam bentuk bulan bahkan abad. Dia selalu tepat waktu, tidak telat sedetik pun, dan tak kan lebih awal walau sedikit pun”.

~ SEKIAN ~

Written by: Sri Ujiyanti (Editor: Ibadibadi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar