Karena Waktuku Begitu Berharga…
Waktu itu sekitar
Desember tahun 2004. Bagi kami anggota/pengurus Rohis Albahrain, tentunya ada sebuah
tahapan untuk meng- up grade diri sesuai dengan jalur kaderisasi Kerohisan. Maka
dari itu, Rohis Universitas Diponegoro (kini bernama INSANI) mengadakan “Training
Rohis 2” atau biasa disebut TR 2. Masing-masing fakultas diminta mengirimkan
delegasinya, dan dari Albahrain terpilihlah 3 orang mahasiswi (akhwat), yang
kesemuanya berasal dari program studi oseanografi termasuk aku. Segera lah kami
mempersiapkan segala kebutuhan (perlengkapan) yang diperlukan unutk kegiatan
yang berdurasi 1 minggu itu, dan tak lupa membawa persyaratan yang diwajibakan
yaitu membuat sebuah makalah. Semuanya kami lakukan dengan cepat di tengah-tengah
padatnya jadwal kuliah dan aktivitas keseharian kami, karena waktu persiapan
kami hanya tinggal esok saja, hari Jumat.
Hari Jumat pun
tiba, hari raya bagi umat muslim setiap minggunya. Aku telah selesai mengemasi
barang-barang keperluanku untuk acara itu. Tak disangka, ternyata hari itu Bapakku
datang. Tidak pernah ada pemberitahuan sebelumnya kalau beliau akan datang
mengunjungiku hari itu, karena handphone keluarga kami satu-satunhya ditinggal
di rumah kami yang jauh di luar pulau sana. Waktu itu handphone masih termasuk
barang langka, belum menjamur seperti
sekarang, sehingga begitu kagetnya
diriku menerima kedatangan Bapakku yang sangat tiba-tiba itu.
Ternyata hari itu
Bapakku mampir setelah sebelumnya mengikuti Muktamar Nasional salah satu
organisasi islam terbesar Indonesia di Boyolali selama beberapa hari. Melihat
di kostku tidak ada “hidangan penyambut” kedatangan Bapakku, maka segera kupergi
ke warung makan untuk membeli teh hangat dan soto ayam sebagai sarapan untuk beliau.
Sambil menatap kembali penampilanku dan mengecek kembali barang-barangku, aku
bercerita bahwa hari itu akan ada agenda organisasi kampus sehingga jam 1 siang
nanti aku sudah harus tiba dan berkumpul di GSG (Gedung Serba Guna), “TIDAK
BOLEH TELAT..!!”, begitu pesan panitia. Bapakku pun mengerti dan menasehatiku
bahwa aku boleh saja aktif di organisasi atau ikut kegiatan apapun di kampus,
selama itu bermanfaat dan tidak membawa kepada pergaulan yang salah. Setelah
itu beliau pun beristirahat untuk menyiapkan tenaga, karena siang nanti beliau berencana
berangkat ke Majenang, Kabupaten Cilacap, untuk mengunjungi Nenek. Sebenarnya
beliau berencana berangkat pada sore hari, namun setelah mengetahui bahwa
anaknya ada kegiatan di organisasi kampusnya sehingga rencana keberangkatannya
pun dimajukan menjadi siang hari. Segera kukabarkan pada adikku bahwa Bapak sedang
mampir ke Semarang, dan kuminta dia untuk segera menuju kostku.
***
“ALLAHU
AKBAR…..ALLAAAHU AKBAR…!!!”, suara adzan pertanda masuknya waktu bagi seluruh
laki-laki yang beragama islam untuk menunaikan ibadah Jumat mulai berkumandang.
Bapak dan adikku tengah bersiap untuk melaksanakan ibadah Jumat, sedangkan aku pergi
menuju warung makan itu lagi untuk membeli makanan santap siang untuk kami
bertiga.
Seusai ibadah
jumat, kami pun menyantap makanan yang telah kubeli di warung tadi. Tak
berselang lama, kami pun telah siap dengan barang bawaan masing-masing. Aku
dengan barang-barangku untuk mengikuti kegiatan TR 2, sedangkan Bapakku telah
siap dengan barang bawaannya berikut bekal perjalanan menuju rumah Nenek di
Majenang. Kuminta adikku mengantarkan Bapak sampai di terminal atau tempat yang
biasa dilewati Bus tujuan Purwokerto, Jawa Tengah. Sebenarnya aku sangat berat
hati berpisah dengan Bapak, karena kami baru sebentar saja bertemu. Tidak
seperti teman-teman yang berasal dari Jawa yang bisa bebas bertemu keluarga
mereka kapan saja, bagiku pertemuan dengan keluargaku (Bapakku) adalah sebuah
peristiwa yang sangat jarang sekali terjadi. Ingin sekali aku ikut mengantar
beliau ke terminal, namun apa daya, panitia acara telah berpesan bahwa kami
harus datang tepat waktu dan tidak boleh telat. Aku pun berpamitan dengan
Bapakku, kucium tangan dan pipinya, kuucapkan salam perpisahan dan lambaian
tangan. “Selamat jalan Bapak…!!”, bisikku dalam hati. Kulihat Bapakku menatapku
lekat.
Setibanya di GSG
aku pun segera bergabung dengan teman-teman dari Fakultas lain sembari mencari
teman-teman sekelasku yang merupakan delegasi dari Albahrain, namun ternyata
mereka belum datang. Hatiku cemas, dalam hati aku berharap, “Semoga Bapak segera
mendapatkan busnya dan selamat sampai tujuan, Aamiiiin…”.
Akhirnya salah seorang
teman sekelasku tiba. Kami pun saling bicara sambil menunggu pengumuman keberangkatan
dari panitia. Satu jam berlalu, namun belum ada juga pengumuman dari panitia. Aku
mulai gelisah, kucoba untuk terus menuggu dengan sabar sambil berusaha menghilangkan
kegelisahanku dengan mengobrol bersama teman-teman lainnya.
Waktu
menunjukkan pukul 14.00 WIB, dan kami masih menunggu. Aku mulai kesal dan
merasa dongkol karena tidak ada
informasi apapun dari panitia. Satu jam kemudian, pukul 15.00 WIB, namun belum juga
ada juga kejelasan dari panitia mengenai waktu keberangkatan peserta menuju
lokasi acara. Aku makin kesal dan semakin menjadi tidak sabaran.
“ALLAHU
AKBAR….ALLAAAAHU AKBAR….!!!”, adzan ashar pun berkumandang, meredam sejenak
rasa kesalku yang kian memuncak. Panitia meminta kami shalat di Masjid yang tak
jauh dari lokasi berkumpul kami saat itu, dan selepas sholat ashar akhirnya
kami pun berangkat. “Alhamdulillaah, akhirnya kami berangkat juga..”, kataku
dalam hati.
Sepanjang
perjalanan aku amat menyesali kebijakan panitia yang menetapkan jadwal keberangkatan
pukul 13.00 WIB, namun ternyata tidak ditepati. Bagiku, itu sudah masuk
kategori mendzalimi orang lain karena membuat peserta harus menunggu 3 jam
lamanya. Aku sangat menyesal, seandainya aku tahu bahwa waktu keberangkatan
yang sebenarnya adalah selepas sholat ashar, maka mestinya aku bisa membersamai
Bapakku lebih lama bahkan bisa mengantar beliau sampai ke terminal. Seandainya,
bila memang panitia sedari awal sudah merencanakan waktu keberagkatan selepas
sholat ashar, bukankah panitia dapat menulis dalam surat undangannya bahwa
“PESERTA HARUS TIBA ONTIME, DAN SHOLAT ASHAR BERJAMA’AH DI MASJID DEKAT
GSG…!!??”. Jika panitia beralasan bahwa bila dalam undangan ditulis “Waktu keberangkatan
setelah sholat ashar” maka dikhawatirkan para peserta akan datang terlambat,
sehingga nantinya akan menghambat proses keberangkatan, dan tentunya akan
mengacaukan seluruh rangkaian kegiatan yang sudah ditetapkan sesuai
“schedule-nya”. Maka itu sama saja artinya bahwa para panitia itu seolah-olah
berkata, “KAMI TIDAK PERCAYA KALIAN (PARA PESERTA) AKAN DATANG TEPAT WAKTU
(ONTIME), MAKA KAMI TETAPKAN WAKTU YANG LEBIH AWAL SUPAYA KALIAN TEPAT
WAKTU..!!!”. Namun apakah mereka, para panitia itu, sadar bahwa “kekhawatiran”
mereka itu ternyata telah merugikan kami dan telah meninggalkan kesan negatif
pada kami bahkan sebelum acara yang “sebenarnya” dimulai. Pun, pesan “ONTIME”
yang ingin “ditegaskan” oleh panitia untuk kami para peserta, telah menjadi
bumerang bagi mereka sendiri. Sejatinya para panitia harus lebih bijak dalam
menetapkan suatu urusan, terutama mengenai masalah waktu. Jika memang panitia
tidak menghendaki keterlambatan peserta, maka seharusnya bisa disiasati dengan
berbagai cara. Karena kita tidak pernah tahu tiap hajat atau urusan yang
dimiliki oleh setiap orang.
“Kesan pertama
amat menentukan”, begitu kalimat yang sering disampaikan orang bijak. Ya, kesan
pertama saat bertemu/berkenalan dengan seseorang atau sebuah komunitas akan sangat
menentukan jalinan/hubungan yang akan terbentuk setelahnya, antara berlanjut
atau tidak. Dan kali itu, setelah mengalami kejadian yang mengesalkan itu, aku
beranggapan bahwa panitia telah GAGAL memberikan kesan yang baik bagi para
peserta. Semestinya panitia harus lebih komunikatif kepada peserta, dan tidak
seolah-olah “menelantarkan” para peserta tanpa kejelasan seperti tadi. Kesan
yang baik mestilah dibangun sejak awal sehingga para peserta akan selalu
antusias dalam mengikuti seluruh rangkaian kegiatan, dari awal hingga akhir
penutupan.
Dan benar saja,
setelah menempuh perjalanan yang cukup “menjemukan”, disambung dengan acara
pembukaan dan rentetan kegiatan yang berlangsung setelahnya, aku sudah tidak
menunjukkan minatku pada acara itu. Bahkan, sesi muhasabah yang menjadi puncak dari
acaranya pun tidak dapat mengubah mood-ku yang sudah terlanjur buruk/jelek.
Sehingga, ketika seusai acara ada salah seorang seniorku di Albahrain yang
bertanya padaku tentang acara itu, dengan enteng saja kujawab “Tidak menarik”.
Sungguh amat
disayangkan. acara TR 2 yang dirancang untuk meng-up grade tsaqofah/wawasan keislaman dan tata kelola (manajerial)
dakwah kampus menjadi kurang bermakna dan tidak mencapai output yang diharapkan. Aku sama sekali tidak menyesal telah
mengikuti kegiatan itu. Namun yang kusesali adalah, kenapa jadwal berangkat
acara tidak dikomunikasikan dengan baik sehingga aku telah kehilangan waktu
“emas”ku untuk membersamai Bapakku selama 3 jam lamanya. Terkesan melankolis
memang, namun kurasa aku memang berhak atas waktuku yang sangat berharga itu. Mengapa?,
karena itulah saat terakhirku bertemu Bapakku sebelum akhirnya beliau dipanggil
Yang Maha Kuasa, Allah SWT. “Inna lillaahi wa inna ilahi rooji’uuuun”.
Kawan, ceritaku
tadi mungkin hanya sebuah contoh seringkalinya kita mengabaikan pentingnya
masalah waktu. Pada sebuah kesempatan, aku pernah bertanya kepada kepada salah seorang akhwat mengenai
kondisi departemen/bidangnya di Rohis Albahrain. Ia mengeluhkan adanya
salah seorang pengurus akhwat yang tidak mau hadir lagi dalam musyawarah
(syuro) padahal dia dulunya merupakan pengurus yang aktif dan selalu hadir
tepat waktu (ontime).
“Trus, memangnya kenapa dia ndak mau datang lagi?”, tanyaku
“Sepertinya sih Mbak,
itu karena musyawarah/syuronya selalu molor dari waktu yang
telah disepakati. Kadang, dia menunggu sampai
lama sekali baru teman-teman pengurus lainnya datang, termasuk kakak-kakak pengurus senior”, jawabnya
“Wah, keterlaluan sekali
ya…, itu kan sama artinya
menzhalimi orang lain”, sahutku
“Iya Mbak, memang budaya untuk hadir tepat waktu seringkali masih disepelekan. Padahal,
itu bisa menjadi parameter seberapa niat
dan ghirah
(semangat) kita utuk membangun umat”, ujarnya.
“Huuh,
bagaimana mau membangun umat?, memperbaiki diri sendiri aja belum optimal”, kataku menimpali.
“Iya
Mbak, aku setuju sekali. Padahal ya Mbak, akhwat
itu dulunya sangat
bersemangat sekali di awal kepengurusan. Namun setelah
berulang kali syuro tidak tepat waktu, dia merasa bahwa organisasi
Rohis ini tidak profesional
jika dibanding dengan unit
kegiatan mahasiswa (UKM) lain. Akhirnya dia mengundurkan diri, dan
berencana mendaftar di
UKM yang lain. Padahal dulu
ketika dia mendaftar masuk menjadi pengurus Rohis, motivasinya adalah
ingin menjadikan pribadinya lebih baik dari sebelumnya”.
“Hmm…,
coba kamu dekati dia lagi ya, berikan dia motivasi…!. Sungguh sangat
disayangkan jika kita kehilangan satu saja pasukan dalam barisan dakwah ini”,
aku mencoba menasehati.
“Seorang Ustadzah, pernah
berkata bahwa:’Janganlah kalian menganggap enteng perkara telat waktu,
walau kalian dianggap seorang aktivis. Baik itu
di dalam ataupun di luar kampus, bahkan aktivis
dakwah sekalipun!. Karena waktu
yang dihabiskan teman-temanmu tatkala menunggumu saat rapat
atau syuro, semuanya akan dihitung
dan dipertanggungjawabkan!. Waktu yang kamu habiskan saat
semua teman-temanmu menanti
karena keterlambatanmu, itu semua akan terhitung sebagai waktumu menzholimi mereka. Mampukah kamu mengembalikan
waktu mereka?. Ingatlah!, jangan
sampai karena
perbuatan menzholimi itu mengakibatkan waktu dalam
hidupmu menjadi tidak berkah,
na’udzubillah min dzalik!”, sambungku.
***
Kawan, setiap kita pasti pernah terlambat. Namun, tidak ada kata terlambat untuk belajar memperbaiki
manajemen diri. Marilah berusaha untuk tepat waktu, tepat janji, dan tepat menjalankan amanah.
Sebagai penutup, izinkan kukutip sebuah nasehat dari A. Fuadi (Penulis Novel
Best Seller “Negeri 5 Menara”) berikut ini: “Sesuatu yang paling setia dalam hidup ini mungkin adalah
waktu. Dia tidak pernah ingkar janji dan akan selalu hadir berkunjung kemana
pun dan kepada siapa pun,
walau topan badai sedang mengamuk. Dia datang dalam bentuk tanggal, dalam
bentuk hari, dalam bentuk bulan bahkan abad. Dia selalu tepat waktu, tidak
telat sedetik pun,
dan tak
kan lebih awal walau
sedikit
pun”.
~ SEKIAN ~
Written by: Sri
Ujiyanti (Editor: Ibadibadi)