Minggu, 24 Januari 2016



Karena Waktuku Begitu Berharga…

Image result for waktu berharga

Waktu itu sekitar Desember tahun 2004. Bagi kami anggota/pengurus Rohis Albahrain, tentunya ada sebuah tahapan untuk meng- up grade diri sesuai dengan jalur kaderisasi Kerohisan. Maka dari itu, Rohis Universitas Diponegoro (kini bernama INSANI) mengadakan “Training Rohis 2” atau biasa disebut TR 2. Masing-masing fakultas diminta mengirimkan delegasinya, dan dari Albahrain terpilihlah 3 orang mahasiswi (akhwat), yang kesemuanya berasal dari program studi oseanografi termasuk aku. Segera lah kami mempersiapkan segala kebutuhan (perlengkapan) yang diperlukan unutk kegiatan yang berdurasi 1 minggu itu, dan tak lupa membawa persyaratan yang diwajibakan yaitu membuat sebuah makalah. Semuanya kami lakukan dengan cepat di tengah-tengah padatnya jadwal kuliah dan aktivitas keseharian kami, karena waktu persiapan kami hanya tinggal esok saja, hari Jumat.

Hari Jumat pun tiba, hari raya bagi umat muslim setiap minggunya. Aku telah selesai mengemasi barang-barang keperluanku untuk acara itu. Tak disangka, ternyata hari itu Bapakku datang. Tidak pernah ada pemberitahuan sebelumnya kalau beliau akan datang mengunjungiku hari itu, karena handphone keluarga kami satu-satunhya ditinggal di rumah kami yang jauh di luar pulau sana. Waktu itu handphone masih termasuk barang langka, belum menjamur seperti sekarang, sehingga begitu kagetnya diriku menerima kedatangan Bapakku yang sangat tiba-tiba itu. 

Ternyata hari itu Bapakku mampir setelah sebelumnya mengikuti Muktamar Nasional salah satu organisasi islam terbesar Indonesia di Boyolali selama beberapa hari. Melihat di kostku tidak ada “hidangan penyambut” kedatangan Bapakku, maka segera kupergi ke warung makan untuk membeli teh hangat dan soto ayam sebagai sarapan untuk beliau. Sambil menatap kembali penampilanku dan mengecek kembali barang-barangku, aku bercerita bahwa hari itu akan ada agenda organisasi kampus sehingga jam 1 siang nanti aku sudah harus tiba dan berkumpul di GSG (Gedung Serba Guna), “TIDAK BOLEH TELAT..!!”, begitu pesan panitia. Bapakku pun mengerti dan menasehatiku bahwa aku boleh saja aktif di organisasi atau ikut kegiatan apapun di kampus, selama itu bermanfaat dan tidak membawa kepada pergaulan yang salah. Setelah itu beliau pun beristirahat untuk menyiapkan tenaga, karena siang nanti beliau berencana berangkat ke Majenang, Kabupaten Cilacap, untuk mengunjungi Nenek. Sebenarnya beliau berencana berangkat pada sore hari, namun setelah mengetahui bahwa anaknya ada kegiatan di organisasi kampusnya sehingga rencana keberangkatannya pun dimajukan menjadi siang hari. Segera kukabarkan pada adikku bahwa Bapak sedang mampir ke Semarang, dan kuminta dia untuk segera menuju kostku.

***

            “ALLAHU AKBAR…..ALLAAAHU AKBAR…!!!”, suara adzan pertanda masuknya waktu bagi seluruh laki-laki yang beragama islam untuk menunaikan ibadah Jumat mulai berkumandang. Bapak dan adikku tengah bersiap untuk melaksanakan ibadah Jumat, sedangkan aku pergi menuju warung makan itu lagi untuk membeli makanan santap siang untuk kami bertiga. 

Seusai ibadah jumat, kami pun menyantap makanan yang telah kubeli di warung tadi. Tak berselang lama, kami pun telah siap dengan barang bawaan masing-masing. Aku dengan barang-barangku untuk mengikuti kegiatan TR 2, sedangkan Bapakku telah siap dengan barang bawaannya berikut bekal perjalanan menuju rumah Nenek di Majenang. Kuminta adikku mengantarkan Bapak sampai di terminal atau tempat yang biasa dilewati Bus tujuan Purwokerto, Jawa Tengah. Sebenarnya aku sangat berat hati berpisah dengan Bapak, karena kami baru sebentar saja bertemu. Tidak seperti teman-teman yang berasal dari Jawa yang bisa bebas bertemu keluarga mereka kapan saja, bagiku pertemuan dengan keluargaku (Bapakku) adalah sebuah peristiwa yang sangat jarang sekali terjadi. Ingin sekali aku ikut mengantar beliau ke terminal, namun apa daya, panitia acara telah berpesan bahwa kami harus datang tepat waktu dan tidak boleh telat. Aku pun berpamitan dengan Bapakku, kucium tangan dan pipinya, kuucapkan salam perpisahan dan lambaian tangan. “Selamat jalan Bapak…!!”, bisikku dalam hati. Kulihat Bapakku menatapku lekat.

Setibanya di GSG aku pun segera bergabung dengan teman-teman dari Fakultas lain sembari mencari teman-teman sekelasku yang merupakan delegasi dari Albahrain, namun ternyata mereka belum datang. Hatiku cemas, dalam hati aku berharap, “Semoga Bapak segera mendapatkan busnya dan selamat sampai tujuan, Aamiiiin…”.
Akhirnya salah seorang teman sekelasku tiba. Kami pun saling bicara sambil menunggu pengumuman keberangkatan dari panitia. Satu jam berlalu, namun belum ada juga pengumuman dari panitia. Aku mulai gelisah, kucoba untuk terus menuggu dengan sabar sambil berusaha menghilangkan kegelisahanku dengan mengobrol bersama teman-teman lainnya.

Waktu menunjukkan pukul 14.00 WIB, dan kami masih menunggu. Aku mulai kesal dan merasa dongkol karena tidak ada informasi apapun dari panitia. Satu jam kemudian, pukul 15.00 WIB, namun belum juga ada juga kejelasan dari panitia mengenai waktu keberangkatan peserta menuju lokasi acara. Aku makin kesal dan semakin menjadi tidak sabaran.

“ALLAHU AKBAR….ALLAAAAHU AKBAR….!!!”, adzan ashar pun berkumandang, meredam sejenak rasa kesalku yang kian memuncak. Panitia meminta kami shalat di Masjid yang tak jauh dari lokasi berkumpul kami saat itu, dan selepas sholat ashar akhirnya kami pun berangkat. “Alhamdulillaah, akhirnya kami berangkat juga..”, kataku dalam hati.

Sepanjang perjalanan aku amat menyesali kebijakan panitia yang menetapkan jadwal keberangkatan pukul 13.00 WIB, namun ternyata tidak ditepati. Bagiku, itu sudah masuk kategori mendzalimi orang lain karena membuat peserta harus menunggu 3 jam lamanya. Aku sangat menyesal, seandainya aku tahu bahwa waktu keberangkatan yang sebenarnya adalah selepas sholat ashar, maka mestinya aku bisa membersamai Bapakku lebih lama bahkan bisa mengantar beliau sampai ke terminal. Seandainya, bila memang panitia sedari awal sudah merencanakan waktu keberagkatan selepas sholat ashar, bukankah panitia dapat menulis dalam surat undangannya bahwa “PESERTA HARUS TIBA ONTIME, DAN SHOLAT ASHAR BERJAMA’AH DI MASJID DEKAT GSG…!!??”. Jika panitia beralasan bahwa bila dalam undangan ditulis “Waktu keberangkatan setelah sholat ashar” maka dikhawatirkan para peserta akan datang terlambat, sehingga nantinya akan menghambat proses keberangkatan, dan tentunya akan mengacaukan seluruh rangkaian kegiatan yang sudah ditetapkan sesuai “schedule-nya”. Maka itu sama saja artinya bahwa para panitia itu seolah-olah berkata, “KAMI TIDAK PERCAYA KALIAN (PARA PESERTA) AKAN DATANG TEPAT WAKTU (ONTIME), MAKA KAMI TETAPKAN WAKTU YANG LEBIH AWAL SUPAYA KALIAN TEPAT WAKTU..!!!”. Namun apakah mereka, para panitia itu, sadar bahwa “kekhawatiran” mereka itu ternyata telah merugikan kami dan telah meninggalkan kesan negatif pada kami bahkan sebelum acara yang “sebenarnya” dimulai. Pun, pesan “ONTIME” yang ingin “ditegaskan” oleh panitia untuk kami para peserta, telah menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Sejatinya para panitia harus lebih bijak dalam menetapkan suatu urusan, terutama mengenai masalah waktu. Jika memang panitia tidak menghendaki keterlambatan peserta, maka seharusnya bisa disiasati dengan berbagai cara. Karena kita tidak pernah tahu tiap hajat atau urusan yang dimiliki oleh setiap orang. 

“Kesan pertama amat menentukan”, begitu kalimat yang sering disampaikan orang bijak. Ya, kesan pertama saat bertemu/berkenalan dengan seseorang atau sebuah komunitas akan sangat menentukan jalinan/hubungan yang akan terbentuk setelahnya, antara berlanjut atau tidak. Dan kali itu, setelah mengalami kejadian yang mengesalkan itu, aku beranggapan bahwa panitia telah GAGAL memberikan kesan yang baik bagi para peserta. Semestinya panitia harus lebih komunikatif kepada peserta, dan tidak seolah-olah “menelantarkan” para peserta tanpa kejelasan seperti tadi. Kesan yang baik mestilah dibangun sejak awal sehingga para peserta akan selalu antusias dalam mengikuti seluruh rangkaian kegiatan, dari awal hingga akhir penutupan. 

Dan benar saja, setelah menempuh perjalanan yang cukup “menjemukan”, disambung dengan acara pembukaan dan rentetan kegiatan yang berlangsung setelahnya, aku sudah tidak menunjukkan minatku pada acara itu. Bahkan, sesi muhasabah yang menjadi puncak dari acaranya pun tidak dapat mengubah mood-ku yang sudah terlanjur buruk/jelek. Sehingga, ketika seusai acara ada salah seorang seniorku di Albahrain yang bertanya padaku tentang acara itu, dengan enteng saja kujawab “Tidak menarik”.

Sungguh amat disayangkan. acara TR 2 yang dirancang untuk meng-up grade tsaqofah/wawasan keislaman dan tata kelola (manajerial) dakwah kampus menjadi kurang bermakna dan tidak mencapai output yang diharapkan. Aku sama sekali tidak menyesal telah mengikuti kegiatan itu. Namun yang kusesali adalah, kenapa jadwal berangkat acara tidak dikomunikasikan dengan baik sehingga aku telah kehilangan waktu “emas”ku untuk membersamai Bapakku selama 3 jam lamanya. Terkesan melankolis memang, namun kurasa aku memang berhak atas waktuku yang sangat berharga itu. Mengapa?, karena itulah saat terakhirku bertemu Bapakku sebelum akhirnya beliau dipanggil Yang Maha Kuasa, Allah SWT. “Inna lillaahi wa inna ilahi rooji’uuuun”.

Kawan, ceritaku tadi mungkin hanya sebuah contoh seringkalinya kita mengabaikan pentingnya masalah waktu. Pada sebuah kesempatan, aku pernah bertanya kepada kepada salah seorang akhwat mengenai kondisi departemen/bidangnya di Rohis Albahrain. Ia mengeluhkan adanya salah seorang pengurus akhwat yang tidak mau hadir lagi dalam musyawarah (syuro) padahal dia dulunya merupakan pengurus yang aktif dan selalu hadir tepat waktu (ontime).

Trus, memangnya kenapa dia ndak mau datang lagi?”, tanyaku
“Sepertinya sih Mbak, itu karena musyawarah/syuronya selalu molor dari waktu yang telah disepakati. Kadang, dia menunggu sampai lama sekali baru teman-teman pengurus lainnya datang, termasuk kakak-kakak pengurus senior”, jawabnya

Wah, keterlaluan sekali ya…, itu kan sama artinya menzhalimi orang lain, sahutku
“Iya Mbak, memang budaya untuk hadir tepat waktu seringkali masih disepelekan. Padahal, itu bisa menjadi parameter seberapa niat dan ghirah (semangat) kita utuk membangun umat”, ujarnya.
Huuh, bagaimana mau membangun umat?, memperbaiki diri sendiri aja belum optimal”, kataku menimpali.
 Iya Mbak, aku setuju sekali. Padahal ya Mbak, akhwat itu dulunya sangat bersemangat sekali di awal kepengurusan. Namun setelah berulang kali syuro tidak tepat waktu, dia merasa bahwa organisasi Rohis ini tidak profesional jika dibanding dengan unit kegiatan mahasiswa (UKM) lain. Akhirnya dia mengundurkan diri, dan berencana mendaftar di UKM yang lain. Padahal dulu ketika dia mendaftar masuk menjadi pengurus Rohis, motivasinya adalah ingin menjadikan pribadinya lebih baik dari sebelumnya”.

Hmm…, coba kamu dekati dia lagi ya, berikan dia motivasi…!. Sungguh sangat disayangkan jika kita kehilangan satu saja pasukan dalam barisan dakwah ini”, aku mencoba menasehati.

Seorang Ustadzah, pernah berkata bahwa:Janganlah kalian menganggap enteng perkara telat waktu, walau kalian dianggap seorang aktivis. Baik itu di dalam ataupun di luar kampus, bahkan aktivis dakwah sekalipun!. Karena waktu yang dihabiskan teman-temanmu tatkala menunggumu saat rapat atau syuro, semuanya akan dihitung dan dipertanggungjawabkan!. Waktu yang kamu habiskan saat semua teman-temanmu menanti karena keterlambatanmu, itu semua akan terhitung sebagai waktumu menzholimi mereka. Mampukah kamu mengembalikan waktu mereka?. Ingatlah!, jangan sampai karena perbuatan menzholimi itu mengakibatkan waktu dalam hidupmu menjadi tidak berkah, na’udzubillah min dzalik!”, sambungku.

***

Kawan, setiap kita pasti pernah terlambat. Namun, tidak ada kata terlambat untuk belajar memperbaiki manajemen diri. Marilah berusaha untuk tepat waktu, tepat janji, dan tepat menjalankan amanah. Sebagai penutup, izinkan kukutip sebuah nasehat dari A. Fuadi (Penulis Novel Best Seller “Negeri 5 Menara”) berikut ini: “Sesuatu yang paling setia dalam hidup ini mungkin adalah waktu. Dia tidak pernah ingkar janji dan akan selalu hadir berkunjung kemana pun dan kepada siapa pun, walau topan badai sedang mengamuk. Dia datang dalam bentuk tanggal, dalam bentuk hari, dalam bentuk bulan bahkan abad. Dia selalu tepat waktu, tidak telat sedetik pun, dan tak kan lebih awal walau sedikit pun”.

~ SEKIAN ~

Written by: Sri Ujiyanti (Editor: Ibadibadi)

Rabu, 20 Januari 2016

:::: Selalu Ada Konsekuensi Untuk Setiap Keterlambatan ::::


      Sore nanti aku akan melaksanakan ujian akhir yang akan menentukan kelulusanku di sebuah perguruan tinggi kejuruan swasta. Ujian akhir dilakukan 1 kali dalam setahun, sehingga apabila tidak lulus maka akan mengulang di tahun berikutnya. Untuk itu, aku telah mempersiapkan semuanya; pakaian, perlengkapan, dan tentunya materi2 yang akan diujikan telah kukuasai semuanya. “Aku ingin hasil yang terbaik dalam ujian ini”, bisikku dalam hati. Untuk mengurangi kegugupan dan rasa khawatirku, kuputar saja MP3 Murottal Alquran dari komputerku, kadang kuselipkan do’a2 supaya Allah memberikanku ketenagan.

      Waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB. Masih ada 1,5 jam dari waktu pelaksanaan ujian. Tapi aku harus berangkat saat ini juga. Aku tidak ingin terlambat sedikit saja, yang dapat menghambatku dalam mengerjakan ujian.

Benar saja, hujan tiba-tiba turun rintik demi rintik namun cukup membasahi siapapun yang berkendara di bawahnya. Kutepikan motorku, lalu segera kukenakan mantelku sambil berbisik kecil “Untung saja aku berangkat lebih awal, jadi aku tidak perlu tergesa-gesa di tengah terpaan hujan ini, Alhamdulillaah…”. Lalu kulanjutkan perjalananku menuju kampusku.

     Jalanan tampak sepi, karena sebagian orang memilih untuk berteduh menunggu hujan reda. Namun aku tak mau mengambil resiko, karena biasanya hujan tipe begini akan berlangsung cukup lama. Toh, aku sudah menggunakan mantel yang menutupi semua, kecuali sepatu pantofel yang itupun cukup dilap saja.

        “BRAAAAAAAAAKKKKKKK………”, terdengar suara keras tidak jauh dari arah depanku.

       “Astaghfirullahal azhiiiim……Inna lillaahi wa inna ilaihi rooji’uuuun…”, kulihat sebuah mobil melesat kencang setelah menabrak seorang pengendara motor. “Kurang Ajar…!”, bentakku dalam hati. “Ini adalah sebuah Tabrak lari!!!.

       Segera kudekati pengendara motor yang terkapar di jalanan itu. Kutepikan motorku, lalu segera kuberlari menghampirinya. “Inna lillaah…”, kulihat darah segar keluar dari beberapa bagian tubuhnya, terutama pada daerah sekitar kepala.

      Aku bingung, harus berbuat apa. Jalanan sangat sepi, tidak ada orang/kendaraan lain yang melintas, hanya kami berdua. “118…, Nomor telepon Ambulance…!!!”, aku teringat sambil setengah berteriak. Segera kuketik nomor telepon 118, Alhamdulillah tersambung. Cukup lama aku menunggu, namun tidak ada yang mengangkat teleponnya. Kucoba menelpon lagi, namun lagi-lagi tidak ada yang mengangkat.
 
Kemudian aku teringat, “110…..Nomor telepon Polisi….!”
Kucoba menghubungi nomor tersebut, namun parahnya nomor itu tidak bisa dihubungi. “Siaaalll…”, kataku dalam hati. Sejak kecil aku diajari untuk menghubungi nomor2 itu bila menghadapi kondisi darurat, namun kali ini, saat aku benar2 memerlukannya ternyata nomor2 itu tidak ada yang bisa dihubungi. “Siaall!!”, bentakku.

     Kulihat jam tanganku, “Oh Tidaaakk…”, hanya tersisa waktu 30 menit sebelum ujian akhirku akan dimulai. Padahal jarakku sekarang dengan kampusku kurang lebih 20 menit perjalanan bila ditempuh secara normal, tidak dalam kondisi hujan seperti sekarang ini. Aku menjadi kalap, marah pada diriku, marah pada kenyataan yang kini sedang kuhadapi. “Kenapa semua ini terjadi padaku?... Kenapa ini terjadi pada saat yang bersamaan dengan waktu ujian akhir yang sangat penting bagiku??... Kenapa??”.

     “Astaghfirullahal azhiiim…”, aku segera menyadari kesalahanku. Segera kuraih handphone-ku, lalu kutelpon sahabatku yang juga akan mengikuti ujian nanti, “Halo, Assalamu’alaikum… Fahri, kamu sudah sampai di kampus?”. Lalu kuceritakan padanya apa yang sedang terjadi padaku. Kukatakan padanya untuk memberitahu pihak pengawas ujian bahwa aku “kemungkinan” akan terlambat hadir mengikuti ujian karena sedang mendapat musibah. Fahri pun menyanggupinya. Sebenarnya ia ingin menyusulku kesini, namun segera kularang karena ia pun harus mengikuti ujian tersebut. Aku hanya mengharapkan doanya, sambil bila ia punya kenalan di daerah sekitar TKP ini, alangkah baiknya jika dihubungi untuk mengirim bantuan.

     Tak lama berselang, tampak sebuah mobil hendak melintas. Segera kulambaikan tanganku, berusaha menghentikan kendaraan itu. Alhamdulillah mobil itu pun berhenti. Kulihat dari jendela mobil, ada sekitar 5 orang pemuda berpakaian setelan batik, duduk rapi di mobil itu. Sebagian keluar menghampiriku, sebagiannya lagi tampak tengah beranjak dari duduknya sambil melihat dari balik kaca. Kutanyakan pada mereka apakah berkenan untuk mengantarkan korban ke rumah sakit. Awalnya mereka tampak ragu, karena mobil yang mereka tumpangi adalah mobil sewaan. Tentunya mereka khawatir bila mobil itu terkena noda darah yang konon, “katanya”, sulit untuk dibersihkan. Namun, seseorang yang tampak lebih tua di antara mereka berhasil meyakinkan teman-temannya, dan korban pun dimasukkan ke dalam mobil. “Alhamdulillaah”, bisikku dalam hati.

Kukatakan pada mereka, bahwa aku harus mengerjakan ujian kelulusanku. Aku mohon ijin untuk menuju kampusku, dan kuberikan KTP asli ku sebagai jaminan bahwa aku bukannya ingin lari dari “tanggungjawab” ku, tapi memang karena aku harus menghadapi ujian itu.

      Apa mau dikata, mereka menolak. Meskipun mereka yakin bukan aku yang menabraknya, tapi mereka juga tidak mau mengambil resiko, karena akulah yang menjadi saksi dalam kecelakaan tersebut. Sudah menjadi rahasia umum di negeri ini, bilamana saksi yang niatnya berbaik hati malah dijadikan tersangka karena kurangnya bukti. Oh…Alangkah lucunya negeri ini…..!.

        Kuturuti permintaan mereka, sambil kuminta 2 orang dari mereka untuk mengamankan motorku dan motor si korban. Lalu kami segera bergegas ke Rumah Sakit. Dalam hati kuberdo’a, “Ya Allah, berikanlah aku ketabahan. Dan lunakkanlah hati para pengawas ujian, semoga mereka menerima alasan keterlambatanku dan memberikan aku tambahan waktu. Aamiiiin”

       Sesampainya di Rumah Sakit, kami langsung bergegas memberitahu pihak UGD untuk memberikan pertolongan dan perawatan intensif kepada korban. Setelah mengurus proses administrasi beserta berita acara kronologi kejadian kecelakaan (dilengkapi identitas dan nomor teleponku sebagai saksi), kami pun sholat ashar bersama lalu saling berpamitan. Aku sangat berterimakasih kepada mereka karena telah bersedia membantu, dan telah membawakan sepeda motorku ke Rumah Sakit. Mereka pun mendoakanku semoga dimudahkan dalam ujian akhirku. Kami pun berpisah.


 Image result for terlambat

        
Segera kupacu sepeda motorku, dan akhirnya aku pun tiba di kampus. Kulihat jam tanganku, “Inna lillah…. waktu ujian hanya tersisa 15 menit dari 120 menit waktu yang diberikan. Segera kuberlari menyusuri tangga menuju ruang ujian. Kuketuk pintu dan aku memohon ijin kepada kepala pengawas untuk mengikuti ujian. Ia pun mengizinkanku dan memberikanku lembaran soal ujian. “Bismillaahirrohmanirrohiim…”, kataku memulai mengerjakan ujian.

         “Oke anak2… waktu sudah habis, segera tinggalkan lembar jawaban di kursi masing2. Periksa kembali nama dan nomor induk masing2”, teriak kepala pengawas ujian memecah keheningan seisi ruangan kelas.

      Semua orang tampak mulai meninggalkan kelas. Hanya aku yang masih fokus melanjutkan pengerjaan ujianku. Aku yakin, kepala pengawas akan memberikanku toleransi waktu karena keterlambatanku, toh Fahri pun telah memberitahu kepala pengawas mengenai alasan keterlambatanku.

Kepala pengawas dan pengawas2 lainnya mulai mengumpulkan lembar2 jawaban yang ditinggalkan para peserta ujian di kursinya. Sampai akhirnya tinggal aku sendiri yang belum menyerahkan hasil ujianku. Tiba2 kepala pengawas berkata, “Hai Nak, kamu tidak mau mengumpulkan hasil ujianmu?”. “Iya Pak, saya masih belum menyelesaikan soal-soal ini”, jawabku.

“Jadi kamu tidak mau mengumpulkannya ya?, kalau begitu lembar jawabanmu tidak akan dinilai”, ujarnya setengah membentak.
“Tapi Pak…, protesku sambil berlari mengejar kepala pengawas ujian yang tampak beranjak meninggalkan ruangan.
“Pak…. tunggu Pak… apakah saya tidak mendapat toleransi waktu?”, tanyaku.
“Tidak”, jawabnya.
“Tapi mengapa Pak?, bukan kah Fahri sudah memberitahu Bapak tentang alasan keterlambatan saya?”, tanyaku memprotes.
“Iya, dia sudah mengatakannya”, jawabnya lugas.
“Lantas, mengapa bapak tidak memberikan tambahan waktu kepada saya?”, protesku.

Kepala pengawas lalu memegang kedua pundakku seraya berkata:
“Nak…., SELALU ADA KONSEKUENSI UNTUK SETIAP KETERLAMBATAN. Meskipun kamu yakin dan berusaha meyakinkan kami bahwa ada sebuah alasan besar yang mengakibatkan keterlambatanmu, namun keterlambatan adalah sebuah kesalahan. Dan kamu tidak punya pilihan lain, selain menerima konsekuensinya”.

“Jika kamu mampu berjiwa besar, karena telah berupaya menolong orang dengan keikhlasanmu, lantas mengapa kali ini kamu tidak menunjukkan KEBESARAN JIWAMU dengan menerima konsekuensi/akibat dari keterlambatanmu”.

       “Satu pesanku padamu Nak…, jangan pernah menyesal karena telah berbuat baik, meskipun kesudahannya tidak mengenakkan bagimu. Tapi yakin lah, bahwa Tuhanmu Maha Melihat, dan ia tidak akan menyia2kan kebaikan hamba Nya. Bersabar lah Nak, kamu adalah anak yang baik”.

        Tak terasa, air mata mulai mengalir melewati kelompak mataku. Antara setengah tidak percaya dengan jawaban yang baru saja kudengar dan karena kesedihanku akibat aku tidak bisa menyelesaikan ujian yang telah sangat kupersiapkan dengan matang. “Astaghfirullahal azhiiim….Inna lillaahi wa inna ilahi rooji’uuuun”, lirihku.

        Aku segera teringat perkataan Nabi Ya’qub a.s tatkala mendengar berita kematian anak kesayangannya Yusuf a.s,
“MAKA KESABARAN YANG BAIK ITULAH (KESABARANKU). Dan Allah sajalah yang dimohonkan pertolongan Nya terhadap apa yang kamu ceritakan” (Q.S. Yusuf: 18).

Perkataan yang serupa juga diungkapkan Nabi Ya’qub tatkala mendengar kabar bahwa anaknya Bunyamin (saudara kandung nabi Yusuf a.s) ditahan oleh Penguasa Mesir karena “mencuri” sebuah Piala Raja.

       “MAKA KESABARAN YANG BAIK ITULAH (KESABARANKU). Mudah2an Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku, sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Q.S. Yusuf: 83)

      Segera kutengadahkan kedua tanganku ke langit, sambil berdo’a, “Robbana afrigh alainaa shobron, wa tsabbit aqdaamanaa wanshurnaa alal qoumil kaafiriiin (Ya Tuhan kami, karuniakan lah kepada kami kesabaran, dan kokohkan kaki (pijakan) kami, dan selamatkan lah kami dari orang2 kafir. Aamiiiiin”.


                                                                               Mataram, 5 Jan 2016 (18:39 WITA)
                                                                                                                    Selesai.

     Cerita ini hanya fiktif belaka, adanya kesamaan tokoh atau jalan cerita hanyalah kebetulan semata.

Pesona Jilbabmu (Part 1)  
Image result for jilbab kartun
 “Selamat datang di Dunia Kampus”, bisikku dalam hati. Hari ini adalah hari pertamaku menginjakkan kaki di kampus Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Diponegoro. Hari yang sangat mengesankan bagiku, karena begitu banyak orang yang memimpikan dapat menyandang predikat “Mahasiswa”, dan kini aku menjadi salah satu dari mereka, para mahasiswa.
Namun, rasa senangku tidak berlangsung lama. Saat tengah asyik berkenalan dengan teman sesama mahasiswa baru, tiba-tiba ada seorang mahasiswa senior berteriak lantang memecah keheningan, “Hitungan ke-10, semuanya harus baris rapi sepuluh ber-shaf sesuai program studinya masing-masing!!, 1...2…3…….”. 

Ya, hari ini adalah hari pertama masa orientasi perkenalan kampus (OSPEK). Bayanganku akan indahnya dunia kampus, sejak saat ini telah sirna dan berganti dengan rasa kesal yang luar biasa. Aku tidak habis pikir, mengapa mereka, para senior itu, menyuruh kami membuat topi dari bola plastik yang dibagi dua. Membuat kalung tanda pengenal berikut “asesorisnya” berupa petai dan ikan asin. “Yaaaackkhh…”, aku marah sekaligus jijik pada diriku dengan tampilan seperti ini. Lebih marah lagi aku kepada para senior itu, yang seperti tidak punya otak, menyuruh kami berbuat begini. “Apa sih untungnya buat mereka?, Dasar senior beg*!!”, protesku dalam hati.

Lupakan kejadian OSPEK yang sangat memalukan itu, sekarang ada lagi kegiatan yang tidak kalah membingungkan. Nama kegiatannya “GOM (Grand Opening Mentoring)”. “Mentoring??, apa itu mentoring?”, tanyaku dalam hati. Yang lebih membuatku kesal adalah, kami, para mahasiswa baru yang beragama islam, DIWAJIBKAN untuk mengenakan jilbab selama kegiatan ini. Bagi yang sehari-harinya berjilbab sih tidak jadi soal, tapi bagiku dan teman-temanku yang tidak/belum berjilbab, tentu sangat kesal. “Kenapa sih kok sok diwajibkan begini!!, kalau memang nda/belum berjilbab ya jangan dipaksa berjilbab dong!!”, protesku. “Tapi ya sudah lah..., toh cuman setengah hari dan pas acara ini saja. Nanti kalau sudah selesai tinggal dibuka saja jilbabnya”, kataku berusaha menenangkan diriku sendiri.

Dan, akhirnya selesai pulalah acara GOM ini. Kuakui acara ini cukup menarik, terutama pematerinya yang sangat pandai dalam merangkai kata, seolah-olah kami telah “terhipnotis” saking terpesonanya. Acara berikutnya adalah pembagian kelompok mentoring. Yah, kembali lagi ke kata “Mentoring” itu. Namun, kali ini aku sudah lebih mengerti. Itu pun karena banyak disinggung oleh Pemateri yang aku suka gayanya tadi itu. Hahaha…

Semua peserta pun sudah terbagi pada kelompoknya masing-masing. Tiap kelompok berjumlah antara 8-10 orang. Tiap kelompok didampingi oleh seseorang yang disebut sebagi “Pementor”. Kulihat daftar nama yang ada dalam kelompokku, pada bagian paling atas tertulis “Pementor: Maria Ulfa”. “Oh… jadi yang menjadi Pementorku adalah Maria Ulfa ya?, hmm…ga kenal...!!”, kataku dalam hati. 

Tak berselang lama, panitia mengkordinasikan agar setiap peserta berkumpul sesuai kelompoknya dan bertemu dengan para Pementornya. Aku penasaran, “Mana sih yang namanya Maria Ulfa?”. Semua peserta tampak berhamburan mencari kelompoknya masing-masing, begitu pula diriku. Sampai akhirnya aku bertemu dengan seluruh anggota kelompokku dan… “Oh…, ini toh yang namanya MARIA ULFA…!”, bisikku dalam hati.

Tak terasa, sudah hampir 5 bulan aku mengikuti aktivitas mentoring ini. Aku yang semula tak tahu menahu soal mentoring, kini mulai merasakan manfaat dari kegiatan mentoring ini. Sedikit demi sedikit, pemahamaan keagamaanku yang awalnya kosong melompong, kini mulai ada sedikit isinya…hihi. Namun, daya tarik terkuat yang membuatku nyaman berada di mentoring ini adalah karena sosok Pementorku itu. Ya… Pementorku itu, dialah inspirasiku. Sosoknya yang anggun dalam balutan busana muslimah sederhana namun sangat berkelas, pintar, berwawasan luas, santun dan sangat memperhatikan/mengayomi kami, para binaannya, dengan sabar dan telaten. Tidak jarang, dalam beberapa sesi mentoring, kami juga mendiskusikan tentang kesulitan yang kami hadapi dalam pelajaran/kuliah disamping materi agama yang menjadi kurikulum mentoring. Hal ini dikarenakan Pementorku itu memang pintar, dan penjelasannya lebih mudah dimengerti daripada ketika dijelaskan oleh Dosenku. Pokoknya Pementorku itu memang “Te.O.Pe.Be.Ge.Te.!!”

Pada suatu kesempatan, di akhir sesi mentoring, Pementorku berkata, “Adik-adik…, pekan depan insyaAllah dari Departemen Annisa bekerjasama dengan Departemen Mentoring akan mengadakan 2 Perlombaan, yaitu: Lomba Kreasi Jilbab Syar’i dan Lomba Dramatisasi Puisi Tentang Ibu. Ini dalam rangka menyemarakkan peringatan hari Jilbab Internasional yang jatuh pada tanggal 4 September. Nah…, nanti tolong dirembugkan ya, siapa yang akan mewakili kelompok mentoring kita untuk mengikuti kegiatan lomba tersebut. Tolong dipersiapkan ya…. Jika Allah mentakdirkan kita menjadi juara ya Alhamdulillah…, tapi jika belum rejekinya ya paling tidak kita sudah berusaha untuk memeriahkan dan telah berikhtiar semampunya. Semoga Sukses ya…!”.
Entah apa yang dipikirkan teman-teman kelompok mentoringku ini. Antara ingin mengerjai aku atau ingin berbuat baik kepadaku bedanya tipis sekali. Aku didaulat untuk menjadi delegasi kelompokku dalam perlombaan Kreasi Jilbab Syar’i, padahal sehari-hari aku tidak mengenakan jilbab kecuali saat mentoring. Itu pun karena mentoringnya sering dilaksanakan di mushola atau masjid sesaat setelah ibadah sholat. “Huuuuuuhh”, aku menghembus nafas pelan.

Hari pelaksanaan lomba pun tiba. Aku dan teman-teman kelompokku telah siap mengikuti lomba, dan hari ini aku benar-benar telah dikerjai. Aku yang sehari-hari tidak berjilbab, kini telah di”make over” menjadi seorang muslimah berhijab. Salah seorang temanku berujar, “Kita pasti menang deh… ini adalah model jilbab yang lagi “IN” banget!. Artis-artis hijabers lagi kecanduan model yang seperti ini!’. Aku melihat diriku di cermin. Teman-temanku memang cukup berhasil dalam mendandaniku. Aku nyaris tidak mengenali diriku sendiri. Aku yang dalam kesehariannya cenderung cuek dalam penampilan, kini berubah 180 derajat. Aku menyukai penampilanku kali ini, namun aku malu. Ya…, aku malu pada diriku, malu pada teman-temanku. “Apa kata mereka nanti?, apakah aku akan menjadi bahan tertawaan mereka??”, kataku dalam hati. 

Kukatakan pada teman-temanku bahwa aku malu. Apalagi teman-temanku ini entah sengaja mengerjaiku atau tidak, tapi 3 lapis jilbab yang mereka kreasikan untukku ini sangat menyiksaku. Gerah..!!!. Jika mereka beralasan ini model yang lagi “IN” dan banyak digunakan para artis, “Halloooww…. mereka kan selalu dikelilingi AC dan blower, lha aku…???”. Sebenarnya ingin sekali kubuka jilbab yang luar biasa gerah ini, namun teman-temanku itu terus melarangku dan membujukku untuk lebih bersabar. “Ya sudah lah…“, kataku kesal. Kami pun berangkat menuju Mushola Kampus tempat dilangsungkannya perlombaan.

Sesampainya di Mushola Kampus, kulihat belum banyak orang disana. Antara senang sekaligus ragu. Senang karena tidak banyak orang yang melihat tampilanku seperti ini, ragu  karena khawatir jangan-jangan acara perlombaannya tidak jadi. “Lho…kenapa mesti khawatir??, bukan kah seharusnya aku senang karena bila acaranya tidak jadi maka aku tidak perlu menanggung malu di depan panitia dan teman-temanku!!”, kataku dalam hati.
Satu demi satu peserta mulai berdatangan, kulihat juga beberapa pengurus/panitia dari UKK. Albahrain mulai menata peralatan/perlengkapan lomba. “Dugg…dugg…dugg…”, suara jantungku berdegup kencang. Kulihat peserta yang lain, kesemuanya mengenakan pakaian dan yang sederhana namun tampil elegan. Sedangkan aku, dengan jilbab berlapis-lapis dan dandanan make-up setebalal “1cm”, aku lebih menyerupai “badut” dibanding peserta lain yang tampak cantik alami. Aku malu…benar-benar malu…. Aku melihat kearah teman-teman yang telah “berjasa” mendandaniku dengan tatapan sebal, lalu kuputuskan untuk pergi meninggalkan mushola, pulang kembali ke kostku.

Belum sampai ke parkiran motor kampus, aku bertemu Mbak Ulfa Pementorku.
“Mau kemana Dik…?”, dia menyapaku.
“Saya mau pulang Mbak..”, jawabku.
“Loh…kok pulang?, kan acaranya mau dimulai…”, tanyanya.
“Iya Mbak… saya malu… saya nda PeDe Mbak… peserta yang lain jilbabnya sederhana tapi cantik Mbak, sedangkan jilbab saya ini terlalu berlebihan… saya mau pulang saja”, jawabku.
“Loh… kata siapa berlebihan?, ga ah…. Penampilanmu cantik kok… cantik sekali malah… Sayang sekali, masa sudah cantik-cantik begini tidak jadi ikut lomba… Kalau Mbak yang jadi jurinya, kamu pasti Mbak pilih menjadi juaranya”, kata Mbak Ulfa mencoba menghiburku.
“Tapi Mbak…”, belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Pementorku itu langsung menimpali, “Pokoknya kamu nda boleh pulang, kamu harus ikut lomba… nda ada yang akan mengejek/menertawakanmu. Kalau ada yang menertawakanmu bilang sama Mbak, nanti Mbak jewer dia!!”.

Aku pun mengurungkan niatku untuk pulang. Mbak Ulfa menggandeng erat tanganku memasuki musholla. Tampak kini musholla itu semakin ramai dipenuhi para peserta yang tampak antusias mengikuti lomba.
Akhirnya lomba yang dinanti pun dimulai. Sebelumnya, panitia membacakan peraturan lomba. Peserta lomba kreasi jilbab terdiri dari 3 orang untuk setiap timnya. 2 orang menjadi kreator jilbab syar’i sedangkan seorang lagi menjadi objeknya. Waktu yang diberikan hanya 5 menit. “Apa??...hanya 5 menit!!!” sontak para peserta berteriak histeris.  
“Lomba dimulai dalam hitungan ketiga, 3….2….1……MULAIII..!!!”, teriak ketua panitia memulai perlombaan.

Mushola sempit itu kini tak ubahnya bak pasar paling ramai se-antero jagad. Baik peserta maupun panitia tak kuasa menahan tawa melihat keseruan para peserta dalam mengkreasikan jilbab kepada temannya yang menjadi objek kreasi mereka. Ada yang memang terampil dan cekatan dalam membentuk lipatan-lipatan jilbab nan indah, namun tidak sedikit pula yang tampak masih kebingungan mencari-cari model yang sesuai dengan selera dan keinginan mereka. Bahkan ada beberapa tim yang mengkombinasikan beberapa model jilbab, pun dengan jumlah jilbab yang berlapis-lapis sehingga temannya yang menjadi objek tampak kepanasan atau bahkan ada yang sampai “tercekik” sulit bernafas karena jilbab yang terlalu ketat.

5 menit waktu yang diberikan pun telah usai. Kini saatnya penilaian lomba. Kriteria penilaian meliputi aspek: kekompakan tim, keindahan, dan syar’i. Sembari menunggu penilaian para juri, acara pun dilanjutkan dengan lomba dramatisasi puisi tentang Ibu. Berkebalikan dengan suasana saat lomba kreasi jilbab, kali ini mushola itu “disulap” bak dibayangi awan mendung penuh kesunyian dan kesedihan. Ya…sebagian besar yang hadir saat itu tak kuasa membendung tangisan air mata haru kala para peserta, satu demi satu, membacakan puisi tentang Ibu yang sungguh amat menyentuh. Ada yang menangis karena teringat jasa Ibu mereka yang tak kan pernah terbalas, ada yang menangis karena sudah lama tak pulang berjumpa dengan Ibundanya yang berada nan jauh di luar pulau sana, adapula yang menangis karena terharu melihat teman-temannya yang lain menangis…hihihi. Lomba dramatisasi puisi Ibu ini pun ditutup dengan penampilan seorang peserta yang menyanyikan lagu “Ummi” yang dipopulerkan oleh Sulis di akhir puisinya. “Wow… benar-benar sebuah penampilan yang epik”, kataku dalam hati.

Yang ditunggu-tunggu pun tiba, saatnya pengumuman pemenang lomba. Deg-degan??, tentu tidak,  karena aku sangat yakin tidak akan menjadi juara…hahaha. Aku hanya penasaran, “Siapa ya yang akan terpilih sebagai juara pilihan para juri?” tanyaku dalam hati.

“Juara ketiga lomba kreasi jilbab dengan total nilai 24, adalah ukhtuna (baca: saudari kita) Anna Muthmainnah dari program studi Budidaya Perairan”, ketua dewan juri membacakan hasil penilaiannya. Semua mata yang hadir sontak langsung tertuju kepada Anna, sang Jawara ketiga. Aku pun terkagum pada Anna yang tampak terlihat sangat anggun dalam balutan jilbab syar’i nya yang sederhana namun tampak elegan. “Selamat ya Anna”, kataku setengah berbisik.

“Juara kedua, dengan total nilai 27, jatuh kepada ukhtuna Bilqis Biblina Syifa dari program studi Ilmu Kelautan”. Kali ini semua mata tertuju kepadaku. “Eh…, Apaaaaaaa???, Astaghfirullah….juara kedunya aku..???”, tanyaku tidak percaya. “Kok bisa???, apa tidak salah??”, lanjutku.
Teman-teman kelompok mentoringku bersorak kegirangan. Teman-teman lainnya yang berada di sebelahku sontak langsung menyalamiku, dan memberi ucapan selamat kepadaku. Kulihat di kejauhan, sosok Pementor idamanku tampak mengacungkan kedua ibu jari tangannya diiringi sebuah simpul senyuman manis khasnya. Sedangkan aku, tatapanku menjadi kosong melompong. Aku masih dalam efek kaget karena menjadi juara 2. Begitu kosongnya pikiranku, sampai-sampai aku tidak mendengar siapa yang akhirnya terpilih menjadi Sang Juara Pertama. Begitu pula dengan pengumuman para pemenang lomba dramatisasi puisi, aku sama sekali tidak mendengarkannya. “Haduuuuh….”, keluhku dalam hati.

Sebelum penutupan lomba, diadakan pengarahan dari ketua dewan juri yang juga merupakan salah seorang staff dosen di fakultas perikanan dan ilmu kelautan mengenai esensi berhijab. Beliau mengutip sebuah firman Allah SWT dalam surat An-nur (24) ayat 31, “Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ’Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan khumur ke dadanya”

Beliau melanjutkan, “Anak-anakku…khumur adalah bentuk jamak dari khimar yang berarti kain penutup kepala, atau dalam bahasa kita disebut jilbab. Ini menunjukkan bahwa kepala dan dada juga termasuk aurat yang harus ditutup. Berarti tidak cukup hanya dengan menutupkan jilbab pada kepala saja dan ujungnya diikatkan ke belakang. Tapi ujung jilbab tersebut harus dibiarkan terjuntai menutupi dada. Itulah cara yang benar (syar’i) dalam menggunakan jilbab”. 

Beliau kemudian menceritakan tentang pengalaman beliau saat menempuh studi di salah satu perguruan tinggi di Eropa yang notabene negara non muslim. Beliau mengatakan, tidak mudah untuk menggunakan jilbab syar’i di negara tersebut, bahkan ada segolongan masyarakat yang telah termakan stigma negatif tentang jilbab syar’i yang diidentikkan dengan pelaku terorisme, na’udzu billahi min dzaalik. Namun, apapun hambatan yang kita hadapi dalam berjilbab, selama itu tidak sampai mempertaruhkan nyawa (baca: dalam kondisi darurat), perintah agama tetaplah harus lebih diutamakan. 

“Anak-anakku, ada sebuah fenomena menarik yang terjadi ketika Ibu tinggal di sebuah kawasan pemukiman di negara tersebut. Sungguh beruntung lah para peremuan yang menggunakan hijab, karena disana perempuan yang tidak berjilbab bila berjalan melewati daerah tersebut sering diganggu. Entah dengan siulan, didekati secara tidak sopan, atau yang lainnya. Sedangkan bila seorang wanita berhijab yang melewati mereka, ajaibnya orang-orang itu tidak ada yang mengganggu. Mungkin itu karena mereka mengira bahwa kita dekat dengan Tuhan (baca: Allah SWT) sehingga mereka tidak berani macam-macam….hahaha”. Beliau melanjutkan, “Maka Maha Benar Allah SWT dengan segala firmannya, sebagaimana dalam surat Al-Ahzab ayat 59: “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan, Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Maka dari itu anak-anakku sekalian, Ibu menasihati diri ibu pribadi dan mengajak anak-anakku semua, yang sudah berjilbab sesuai syari’at ‘Alhamdulillaah’, berbahagialah kalian. Yang jilbabnya belum syari’i, tolong ya Nak dirapihkan. Nah… bagi yang belum berjilbab, ayo Nak… beranilah untuk mengambil keputusan. Mulai lah berjilbab, insyaAllah selain kepada diri sendiri, pahalanya juga akan sampai kepada kedua orangtua kalian. Tadi kan sudah pada pandai membuat dan membacakan puisi tentang Ibu. Nah, ayok dah tambah lagi pahala buat Ibu dan juga Bapak kalian dengan cara berjilbab/berhijab sesuai syari’at”, kata Beliau menutup arahannya.

Dadaku terasa bergemuruh dengan hebatnya. Aku tak kuasa menahan air mataku yang mengalir deras melewati pipiku. “Astaghfirullahal azhiiiim… Astaghfirullahal azhiiiim… Astaghfirullahal azhiiiim…”, aku mengulang-ulang istighfarku. Aku malu pada diriku sendiri. Kenapa sulit sekali rasanya diri ini untuk mulai berhijab. Aku malu bila ditertawakan dan diejek teman-temanku yang telah mengenal diriku dan kepribadianku sejak lama. Dengan berjilbab, maka kesan feminim yang ditimbulkan akan sangat kontras dengan gaya tomboy yang melekat pada diriku sehari-hari. Namun, lagi-lagi, berhijab adalah sebuah kewajiban bagi perempuan yang sudah akil baligh seperti diriku. Maka mau tidak mau, aku harus mulai berhijab. “Bismillaahirrohmaanirrohiiim… asyhadu an laa ilaaha illaallaah, wa asyhadu anna Muhammadan rosuulullaah…, Ya Allah Yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkan lah hatiku untuk senantiasa taat pada perintah Mu. Ampunilah dosa dan segala kesalahanku, mudahkan lah urusanku, lindungilah aku dan jauhkan lah aku dari segala godaan setan yang terkutuk. Ya Allah Yang Maha Pengasih…, hari ini kuikrarkan pada diriku untuk melaksanaan salah satu kewajibanku untuk menutup auratku. Kuatkan diriku atas segala keraguan yang akan menggoyahkan keyakinan hatiku. Baguskan lah akhlakku, dan jauhkan lah aku dari segala fitnah di dunia dan akhirat. Aamiiiiiin”, kuakhiri do’aku dengan linangan air mata yang membasahi jilbab “baru”ku.

~ selesai ~
Written by: Ibadibadi & H.F